RUU KUHP direncanakan akan di sahkan pada tanggal 24 September 2019. Namun RUU tersebut mendapat sambutan tidak hangat dari masyarakat, terkhusunya mahasiswa. Akhirnya RUU tersebut ditunda pengesahannya dan akan di bahas pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang ke dua. RUU KUHP akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan dalam masyarakat, mahasiswa, bahkan tokoh-tokoh nasional di Indonesia. RUU KUHP sendiri menjadi kontroversi atau perdebatan dari berbagai kalangan akibat ada anggapan pasal-pasal yang terkandung di dalamya tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia atau banyak merugikan rakyat Indonesia. Namun dalam hal ini saya hanya akan mengulas beberapa pasal yang menjadi headline bagi saya. Karena sangat banyak pasal yang menjadi kontroversi yang memerlukan waktu dan pemahaman yang dalam untuk menganalisinya.
1. Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 223-224 RUU KUHP)
Presiden merupakan orang yang paling dihormati dalam suatu negara. Bahkan pada zaman klasik orang
beranggapan banwa Raja (Presiden) adalah wakil dari Tuhan. Sehingga, perlulah aturan khusus yang
melindungi Presiden dan Wakil Presiden terhadap Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat
mereka. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan umum. Yang mana kita sebagai warga negara yang baik dan taat akan hukum harus menghormatinya.Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden akhir-akhir ini banyak sekali terjadi. Aturan mengenai penghinaan Presiden atau Wakil Presiden telah di atur dalam Buku Kedua, BAB II, KUHP. Dan tidak sedikit orang yang berurusan dengan kepolisian dengan adanya pasal ini. Dalam RUU KUHP pun telah diatur mengenai Tindak Pidana Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden yakni dalam BAB II Bagian Kedua Pasal 223-224 ayat (1) RUU KUHP yang berbunyi “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Orang-orang mengkritik bahwa pasal ini melanggar kebebasan berpendapat warga negera sepetiyang telah diatur dalam Konstitusi termuat dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Namun dalam hal ini Prof. Yassona H. Laoly dalam acara ILC di TV ONE berpendapat, bahwa setiap orang mempunyai kebebasan namun kebebasan yang sebebas-bebasnya adalah Anarki. Berdasarkan pendapat tersebut saya tarik kesimpulan bahwa kita diperbolehkan mengkritik tetapi ada batas-batasananya apalagi kita mengakui Indonesia adalah negara hukum, sehingga sudah sepatutnya tindakan sebagai warga negara yang baik harus mempunyai dasar.
Perbedaan penghinaan Presiden dan atau Wakil Presiden yang terdapat dalam KUHP dan RUU KUHP adalah mengenai delik laporan dan delik aduan. Penghinaan presiden atau wakil presiden dalam KUHP termasuk dalam delik laporan, sehingga setiap orang dapat melaporkan adanya delik atau peristiwa pidana, mengakibatkan semua penghinaan Presiden atau Wakil Presiden dapat dilaporkan. Sementara dalam RUU KUHP delik tersebut tidak termasuk dalam delik laporan melainkan delik aduan seperti yang berbunyi dalam Pasal 223 ayat (3) “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan”. Dan yang dapat mengadukan adanya delik penghinaan tersebut hanayalah Presiden atau Wakil Presiden yang terdapat dalam pasal 223 ayat (4) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden. Dengan berubahnya delik laporan menjadi delik aduan dapat mengurangi atau membatasi delik penghinaan Presiden dan atau wakil Presiden.
Berdasarkan urain tersebut saya menarik kesimpulan bahwa pasal 223 RUU KUHP tersebut sudah lebih baik daripada Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden yang terdapat dalam Buku Kedua, BAB II KUHP. Dikarenakan yang mengadukan delik tersebut hanyalah Presiden dan atau Wakil Presiden. Berbeda yang selama ini berlaku dalam KUHP setiap orang dapat melaporkan delik Penghinaan Presiden dan atau Wakil Presiden.
Sehingga sudah selayaknya pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden (BAB II Bagian Kedua Pasal 223-224 RUU KUHP) tidak menjadi permasalahan atau kontroversi lagi.
2. Gangguan Terhadap Benih dan Tanaman (Pasal 287-228)
“Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.”Pasal 287 ini pun tidak luput dalam kontroversi RUU KUHP, bagaimana tidak, hewan peliharaan (unggas) yang masuk dalam perkebunan orang lain dapat di pidana denda paling banyak kategori II (Rp10.000.000). Untuk penggolangan pidana denda sendiri di atur dalam pasal 81ayat (1) RUU KUHP:
Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:
a. kategori I Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b. kategori II Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. kategori III Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
d. kategori IV Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
e. kategori V Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
f. kategori VI Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
g. kategori VII Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan
h. kategori VIII Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Banyak beredar guyonan di media sosial mengenai pasal ini seperti, membuat ayam orang lain memasuki kebun mereka sehingga nantinya mereka mendapat keuntungan Rp10.000.000 dangan melaporkannya kepada kepolisian. Namun, maksud dari pasal 287 ini bukanlah demikian.
Untuk menentukan maksud dari suatu pasal atau aturan haruslah berdasarkan pemahamann yang benar-benar dalam dan orang yang menerapkannya harus mengetahui bagaimana kehidupan sosial masyarakatnya tersebut serta latar belakang lairnya pasal tersebut.
Untuk itu kita harus membedah unur-unsur yang terpat dalam pasal-pasal tersebut. Setiap orang (orang-perorangan atau korporasi), yang membiarkan (dengan sengaja), unggas yang diternaknya (bukan unggas milik orang lain dan juga hanya hewan ternak), berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman, (kebun atau tanah yang ditaburi benih), milik orang lain (termasuk korprasi), dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II (paling banyak Rp10.000.000, berarti bisa lebih rendah dari Rp10.000.000 tergantung dari putusan hakim).
Berdasarkan unsur-unsur tersebut hakim harus mencari kebenaran materil sehingga tujuan dari pidana tercapai sepenuhnya, apakah peristiwa tersebut menimbulkan kerugian, pihak yang bersangkutan memaafkan, atau hal tersebut bukan kuasa yang memiliki ternak melainkan orang lain yang melakukannya.
Kesimpulannya adalah tidak serta-merta hewan ternak orang lain yang masuk dalam kebun sesorang dapat di pidana denda Rp10.000.000. bisa saja ada orang lain yang melakukanya dengan maksud jahat atau hal lain diluar kuasa pemilik ternak. Jadi sebaiknya dalam menanggapi sebuah RUU kita jangan mudah percaya apa yang dikatakan orang lain sebelum membaca RUU tersebut terlebih dahulu. Namun, dalam hal ini RUU tersebut masih belum sempurnya sehingga menimbulkan polemik dalam masyarakat ditambah lagi situasi politik masih belum kondusif. Sekian dari saya, tiada gading yang tak retak, oleh karena itu saran dan komentar positif dari pembaca sangat diperlukan.
Post a Comment