Klasifikasi Konstitusi

Setiap negara yang ada di dunia mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Jika konstitusi di setiap negara didunia dibandingkan satu sama lain
 
Klasifikasi Konstitusi
Klasifikasi Konstitusi

Klasifikasi Konstitusi

Setiap negara yang ada di dunia mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Jika konstitusi di setiap negara didunia dibandingkan satu sama lain, maka akan ada klasifikasi atau penggolongan konstitusi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Para sarjana berusaha mengadakan klasifikasi yang menurut mereka dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hubungan ini klasifikasi konstitusi dikemukakan oleh K. C. Wheare dan C. F. Strong. Menurut K. C. Wheare, konstitusi dapat digolongkan kedalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

1. Konstitusi Tertulis Dan Konstitusi Dalam Bentuk Tidak Tertulis (written constitution and unwritten constitution)

Konstitusi tertulis adalah suatu konstitusi yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal. Contohnya adalah konstitusi yang berlaku di Denmark dan Swedia. Dan konstitusi yang tidak tertulis adalah konstitusi yang berlaku  di Inggris, Israel, dan Selandia Baru.[1]

2. Konstitusi Fleksibel Dan Konstitusi Rijid ( Flexible Constitution And Rigid Contstitution)

Untuk menentukan suatu konstitusi termasuk fleksibel atau rigid, ukuran yang dipakai dua, yaitu sebagai berikut:

  • Cara mengubah konstitusi.
  • Apakah  konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman.

Disamping indikator atau ukuran di atas menurut James Bryce yang diikuti oleh Sri Soemantri menambahkan bahwa yang dimaksud dengan konstitusi fleksibel adala suatu konstitusi yang mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut:

  • Elastis, oleh karena muda menyesuaikan dirinya dengan mudah.
  • Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama, seperti undang-undang.

Sebagaimana diketahui, untuk mengubah suatu undang-undang hanya diperlukan syarat lebih dari setengah jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang hadir menyetujui. Jadi, apabila anggota badan perwakilan rakyat itu berjumlah 500 orang yang hadir 400 anggota, perubahan UUD dikatakan sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 201 orang anggota.

Apa yang dikemukakan diatas berbeda dengan konstitusi rigid, yang mempunyai ciri-ciri pokok sebagi berikut:

  • Mempunyai kedudukan dan derajat lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang lain.
  • Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa.

Kedua ciri pokok konstitusi rigid tersebut mempunyai hubungan satu sama lainnya. Oleh karena konstitusi tersebut mempunyai kedudukan dan derajat lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain, konstitusi itu dinamakan pula hukum dasar (fundamental law) dalam negara yang bersangkutan. (Sri Soemantri, 1984 61).

Contoh: UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan dasar dalam hukum tata negara positif Republik Indonesia yang ditentukan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan RI dalam Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966.[2]

3. Konstitusi Derajat Tinggi Dan Tidak Berderajat Tinggi ( Supreme Constitution And Not-Supreme Constitution)

Konstitusi derajat tinggi adalah suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tinggi dalam negara.  Seperti diketahui, di setiap negara terdapat berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan, baik yang dilihat dari isi maupun yang ditinjau dari bentuknya.

Konstitusi tidak berderajat tinggi adalah jika persyaratan untuk mengubah sama dengan saat untuk mengubah peraturan perundang-undangan lain, misalnya undang-undang.

4. Konstitusi Serikat Dan Konstitusi Kesatuan ( Federal Constitution And Unitary Constitution)

Pembagian konstitusi jenis ini berdasarkan pada bentuk negara. Sebagaimana yang diketahui bentuk negara meliputi negara serikat dan negara kesatuan. Didalam negara serikat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dan negara-negara bagian. Pembagian kekuasaan itu diatur dalam konstitusinya. 

Dalam negara yang berbentuk kesatuan pembagian kekuasaan tidak dijumpai seperti di negara serikat, karena pada dasarnya seluruh kekuasaan dalam negara berada ditangan pemerintah pusat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada ditangan pemerintah pusat karena ada kemungkinan dekonsentrasi kekuasaan ke daerah lain. Lain halnya dengan negara kesatuan yang bersistem desentralisasi.

5. Konstitusi Sistem Pemerintahan Presidensiil Dan Konstitusi Sistem Pemerintahan Parlementer (Presidential Executive And Parliamentary Executive Constitution)

Menurut C. F. Strong, di dunia ada dua macam sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil yaitu sebagi berikut:

  • Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintah yang mempunyai kekuasaan besar.
  • Presiden tidak dipilih oleh kekuasaan legislatif tetapi dipilih langsung oleh rakyat.
  • Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif.
  • Presiden tidak dapat membubarkan kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakannya pemilu.

Dilain pihak, sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  • Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen.
  • Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian adalah anggota parlemen.
  • Perdana menteri bersama kabinet bertanggungjawab kepada parlemen.
  • Kepala negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilu.[3]

Berdasarkan klasifikasi konstitusi diatas UUD 1945 termasuk konstitusi rijid, konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam dokumen, konstitusi berderajat tinggi, konstitusi kesatuan, dan konstitusi yang menganut sistem pemerintahan campuran. Karena dalam UUD 1945 di samping mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial dan juga mengatur beberapa ciri sistem pemerintahan parlementer. Disinilah keunikan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[4]

Referensi :

[1] Emilda Firdaus, Hukum Tata Negara, (Pekanbaru: UNRI Press,), hal.91-92
[2] Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 52-53
[3] Emilda Firdaus, Hukum Tata Negara, (Pekanbaru: UNRI Press,), hal. 92-94
[4]
Dahlan Thabib,dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 28-29

Post a Comment