sumber ilustrasi: pixabay.com |
Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini
mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan, dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras,
warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial
lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran
hak asasi manusia.[1]
Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (tahun 2000), meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/MPR/1998.[2] “Ibi Ius Ibu Society” demikian ungkapan klasik Aristoteles yang menggambarkan dimana ada masyarakat, disitu ada hukum. Sehingga penegakan hukum dalam kehidupan masyarakat sangat penting. Melalui penegakan hukum, hukum memainkan peran memberdayakan setiap anggota masyarakat yang cenderung berinteraksi dengan sesamanya sebagai mahluk social (Zoon Politikon) menurut Socrates, dan memberikan pengayoman dari kecenderungan manusia sebagai srigala terhadap sesamanya (homo homini lupus) sesuai ungkapan Thomas Hobbes dan menjamin hak asasi manusia dari kecenderungan manusia dengan tujuan menghalalkan cara dalam merebut dan menjalankan kekuasaan sebagaimana konsep kekuasaan politik dari Machiavelli.[3]
Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 secara
tegas menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Demikian pula
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 71 yang menyatakan:
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh negara Republik Indonesia”.
Secara universal bahwa negara
memikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Tanggung jawab yang sedemikian tak dapat dikurangi dengan alasan-alasan
politik, ekonomi maupun budaya. Sementara itu dalam kenyataan sehari-hari
banyak pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara melalui organ-organ
atau aparatnya baik sipil maupun militer yang menyelewengkan kekuasaannya (abuse
of power).[4]
Menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku keberadaan
masyarakat hukum adat diakui dan dihormati. Berikut ini beberapa peraturan yang
mengatur eksistensi masyarakat adat:
1. Hukum Internasional, yang
dijabarkan ke dalam beberapa instrumen HAM internasional seperti Konvensi ILO
No. 169/1989 (Indigenous People’s Rights), dan adanya struktur organisasi PBB untuk
melindungi eksistensi dan hak dari masyarakat hukum adat.
2. Hukum nasional seperti UUD
1945 yang diamandemen yaitu terdapat dalam pasal 18B, 28I ayat (3), dan 32 UUD
1945, eksistensi masyarakat hukum adat ini diakui dengan 4 syarat. Dalam pasal
18B tercantum 3 syarat yaitu: 1) sepanjang masih ada, 2) sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, 3) yang
diatur dalam UU. Dalam pasal 28I tercantum 1 syarat yaitu: 4) selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
3. Tap MPR No. XVII/MPR/1998
pasal 41, yaitu diakui adanya hak masyarakat atas ulayat.
4. Pasal 1 UU No. 5 tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria menegaskan bahwa hukum tanah nasional didasarkan
pada hukum adat dan UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
5. Hasil penelitian terdahulu
tentang eksistensi masyarakat hukum adat Minangkabau di Sumatera Barat masih
ada, yang dibuktikan masih adanya Nagari, Suku, Ulayat (Nagari, Suku, Kaum).
Seperti penelitian terdahulu dimulai semenjak zaman Kolonial Hindia Belanda
(Prof. Mr. Dr. C. Van Volenhoven) kemudian dilanjutkan oleh para akademisi
seperti Muchtar Naim (1968), Josselin (1971), Tasjrif Aliumar (1986),
Hermayulis (1988), Syahmunir AM (1998), M. Nazir (1999), Sjofyan Thalib (1999),
Akmal (2003).
Bukti lain menunjukan bahwa setiap
pembuatan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan
masyarakat hukum adat selalu mendapat perlawanan, Ranperda Tanah Ulayat 2002)
sampai sekarang tidak bisa diloloskan (Usulan Pemda bersama DPRD), karena
ditentang oleh masyarakat hukum adat yang tidak sesuai dengan asas-asas,
struktur organisasi dan manajemen hukum adat.[5]
Dalam pasal 18B, 28I ayat (3), dan 32
Undang-undang Dasar 1945, eksistensi masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional
ini diakui dengan empat syarat. Dalam pasal 18B tercantum tiga syarat, yaitu:
1) sepanjang masih ada, 2) sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, 3) yang diatur dengan undang-undang. Dalam
pasal 28I tercantum satu syarat, yaitu: 4) selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban. Dengan demikian pengakuan sebagai masyarakat hukum adat atau
masyarakat tradisional tidaklah berlangsung secara otomatis.[6]
Dalam
sistem hukum nasional dimana hukum tanah telah dimodifikasikan oleh UU No. 5
tahun 1960 tentang Undang- Undang Pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA. Hak
ulayat ini diakui secara yuridis dalam pasal 3 yang menyebutkan dengan
mengingat ketentuan-ketentuan pada pasal 1 dan pasal 2 dalam pelaksanaan hak
ulayat dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada.
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian
wewenang dan kewajiaban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.[7]
Dalam
pasal 41 Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 diakui adanya hak masyarakat adat atas
tanah ulayat. Menurut Syafruddin Bahar (2000) bahwa dalam instrumen hak asasi
manusia internasional telah ada Konvensi ILO Nomor 169 tahun 1989 tentang Indigenous
People’s Rights, yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada
pemerintah RI untuk diratifikasi. Walaupun bangsa Indonesia terdiri dari banyak
suku dan menghadapi banyak masalah dengan kemajemukan suku tersebut, namun
belum memanfaatkan peluang yang dibuka Perserikatan Bangsa Bangsa tersebut
diatas untuk kepentingan suku–suku bangsa yang menjadi komponen rakyat.[8]
Hak-hak masyarakat hukum adat meliputi hak di bidang: (1)
ideologi, (2) politik, (3) ekonomi, (4) budaya, dan (5) hak pertahanan
keamanan. Hak di bidang ideologi artinya yang diyakini sebagai seperangkat
nilai dalam menata kehidupan masyarakat hukum adat adalah “Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” Alam takambang jadi guru. Nilai-nilai
kebenaran yang bersumber dari wahyu Illahi dan putusan bersama menjadi acuan
dalam mengambil setiap kebijakan/putusan dalam masyarakat hukum adat.
Hak di bidang politik, antara lain
menentukan pemimpin dengan pemilihan langsung, artinya dalam menentukan pemimpin
harus kompetitif, transparan, dan memiliki akuntabilitas. Pemimpin itu didahulu
selangkah, jika dia berbuat salah dapat diturunkan. Temuan ini didukung oleh falsafah
adat “Raja alim Raja disambah, Raja zalim Raja disanggah”, artinya
jika pemimpin itu berjalan dalam aturan yang berlaku wajib dipatuhi, jika
melanggar hukum secara bersama menolaknya. Kemudian setiap putusan dibawa ke
rapat, artinya putusan-putusan untuk kepentingan bersama harus dimusyawarahkan
terlebih dahulu, dalam falsafah adat dikatakan dipalegakan (dirembukkan
bersama).
Hak di bidang ekonomi, antara lain
adanya hak milik kolektif, artinya ada ulayat kaum, suku, dan nagari. Dalam penggunaannya
bersifat hak pakai, yang dikenal dengan “kabau pai kubangan tinga”,
jika sudah selesai kontrak atau perjanjian dikembalikan ke asal hak atas tanah
(ulayat nagari, suku atau kaum). Bagi yang memanfaatkan hak ulayat dalam hukum
adat memakai sistem bagi hasil.
Hak di bidang budaya, antara lain
menghormati simbol budaya, bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar dalam
masyarakat hukum adat Sako (gelar), yang diperoleh menurut garis
keturunan dan sepakat kaum. Pemberian hak ini tidak boleh diintervensi oleh
siapapun. Kemudian pakaian adat, ukiran, rumah adat, serta simbol-simbol adat
yang terkait dengan sako dan pusako. Disamping itu juga ada hak budaya tentang
surau (rumah ibadah) tempat orang menimba ilmu agama dan kesenian adat (seni
bela diri).
Hak di bidang pertahanan dan
keamanan nagari antara lain adanya Paga Nagari (keamanan kolektif), yang
dibuat oleh anak nagari dan diputuskan dalam Rapat KAN. Kemudian adanya dubalang
(polisi khusus di nagari), artinya dibuat oleh Badan Perwakilan Nagari,
yang membantu menegakkan hukum (peraturan pemerintah nagari) atau disebut
dengan Pernag.[9]
Secara normatif, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat harus dilaksanakan berlandaskan pada standar-standar hak asasi manusia internasional dan konstitusi serta ketentuan-ketentuan hak asasi manusia lainnya yang berlaku secara nasional. Sebagai negara yang telah mengadopsi beragam instrumen hukum HAM internasional, regional dan nasional, pemerintah Indonesia, juga memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta, secara khusus perusahaan multi-nasional.
UN Treaty Bodiesmelalui beragam perjanjian internasional yang mengikat negara-negara pihak, telah mengadopsi tiga kewajiban negara, yakni: Pertama, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), kedua, kewajiban untuk memajukan (obligation to promote), dan ketiga, kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfil)16, sebagai berikut :
1. Kewajiban untuk melindungi HAM.
Negara dalam hal ini pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku dari unsur non-negara, di antaranya massa intoleran, milisi dan/atau perusahaan.
2. Kewajiban untuk menghormati dan memajukan HAM
Negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan ataupun peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum HAM.
3. Kewajiban untuk memenuhi HAM
Negara harus melakukan tindakan nyata, yakni dengan mengalokasikan anggaran, menyusun program, dan membuat kebijakan- kebijakan dalam konteks menjamin pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara dapat berjalan dengan baik tanpa gangguan dan ancaman dari pihak manapun. Dalam Guiding Principles tentang bisnis dan HAM, atau yang disebut juga dengan istilah Ruggie Guidelines, pemerintah Indonesia memiliki sejumlah kewajiban (moral)17 sebagai berikut:
a. Kewajiban dasar negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi kebebasan yang sifatnya fundamental;
b. Perusahaan sebagai organ yang bekerja di tengah-tengah masyarakat, wajib mematuhi semua peraturan perundangan, untuk menghormati Hak Asasi Manusia;
c. Adanya pemenuhan hak dan kewajiban yang seimbang dalam pemulihan HAM saat terjadi pelanggaran.
Dalam Prinsip Maastricht, juga dikemukakan mengenai perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yang menyatakan bahwa semua negara harus mengambil tindakan, secara terpisah, dan bersama-sama melalui kerja sama internasional, untuk melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya orang-orang yang berada dalam teritorial dan ekstrateritorial mereka.[10]
Nilai-nilai Pancasila Sebagai Dasar Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat
Pancasila merupakan suatu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya dan tidak dapat dipertukarbalikan susunannya. Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan antara satu dan lainnya, tetapi kesemuanya itu merupakan kesatuan yang sistematis.[11]
Nilai-nilai Pancasila terdapat di dalam sila-sila pada Pancasila itu sendiri. Nilai-nilai Pancasila itu yaitu nilai Ke-Tuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan. Nilai-nilai Pancasila tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan atau dengan kata lain nilai-nilai tersebut tidak boleh dibaca secara partikular. Walaupun masing-masing sila tersebut diambil nilai-nilai utamanya, tidak membuat makna pembacaan sila secara utuh menjadi tidak bermakna.
Pancasila itu berbentuk piramida yang saling memiliki keterkaitan antara sila satu dengan yang lainnya. Sila pertama menjadi dasar bagi sila-sila selanjutnya dan tiap-tiap sila itu ialah penjelmaan atau pengkhususan daripada sila yang mendahuluinya. Sila yang pertama adalah dasar umum, jadi dasar yang terbesar lingkungannya, dan sila kelima adalah sila yang paling khusus, yang lingkungannya terbatas. Pancasila itu dapat digambarkan sebagai kesatuan yang berbentuk sebagai suatu bangunan yang bertingkat, yang tingkatnya makin meninggi makin menjadi kurang luas. Adapun basisnya ialah sila pertama yaitu Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dan puncak piramidanya ialah keadilan sosial, yang sesuai dengan rumusan sila kelima untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan tujuan daripada empat sila lainnya. Pancasila juga dikatakan “bangunan (wadah) gotong royong”, yang dimaksud bahwa isi kesatuan daripada lima sila adalah gotong royong.
Norma etika dan norma hukum di dalam pemaknaan Pancasila masuk pada ranah subjek (subject), yang subjek itu dipersatukan (unite the subject) dan membentuk yang namanya rakyat (intersubjective). Apabila melihat hubungan secara vertikal kaitannya dengan subjek (subject) dan Tuhan (Suprasubject) domain norma etika dan norma hukum juga mendapatkan tempat, seperti yang diatur dan ditetapkan di dalam kitab suci, dan uraian penjelasannya dijelaskan di dalam hadist serta pendapat ulama (dalam agama Islam), begitu juga dengan agama lainnya.
Pancasila itu adalah ruhnya dari norma etika dan norma hukum, dan Pancasila itu berisi nilai-nilai yang diturunkan baik itu dari Pancasila yang umum universil, ke Pancasila yang umum kolektif, ke Pancasila yang khusus partikular, ke Pancasila yang khusus singular. Nilai-nilai yang diturunkan itu menjadi basis bagi norma etika dan norma hukum. Penegasannya ialah tidak perlu menjadikan Pancasila sebagai norma etika dan norma hukum, karena Pancasila itu merupakan ruh, ruh itu tidak perlu dijadikan fisik karena dia tranfisik, tetapi yang tranfisik itu tidak bisa dilepaskan dari yang fisik. Sedangkan norma etika dan norma hukum adalah yang fisik karena keduanya adalah cara berperilaku dan aturan berperilaku. Norma etika itu juga merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diambil dari tingkah laku dan menjadi acuan terhadap tingkah laku, sehingga norma etika itu sifatnya partikular, bahkan sangat partikular pemaknaannya walaupun secara pemakaian istilah dimungkinkan sama. Norma etika yang diambil dari tingkah laku subjek dan menjadi acuan terhadap tingkah laku subjek berikutnya, sebahagiannya dapat dijadikan sebagai norma hukum. Dapat dikatakan adalah norma hukum itu datangnya dari sebagian etika.
Pancasila
adalah dasar yang paling dalam, dasar yang fundamental, dasar dari segala
peraturan serta perbuatan hidup bermasyarakat dan bernegara, sehingga semua
peraturan dari yang paling tinggi sampai dengan yang terendah harus didasarkan
atas Pancasila. Apabila dasar yang fundamental itu ditetapkan sebagai norma
etika dan norma hukum maka akan membatasi makna Pancasila itu sendiri. Perlu
disadari bahwa dengan Pancasila itu sebagai falsafah negara, maka Pancasila itu
sudah menjadi basis bagi semua norma yang ada.[12]
Hak
asasi manusia merupakan perwujudan dari sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hak asasi sangat di hormati dan dijunjung tinggi oleh nilai-nilai pancasila
khususnya nilai sila ke dua, yang mana rasa sikap toleransi dan saling
menghormati merupakan kebiasaan bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan bangsa Indonesia.hak asasi manusia sebagai perwujudan sila yang
kedua menempatkan hak setiap warga negara pada kedudukannya yang sama. Setiap
manusia mempunyai kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapatkan jaminan dan
perlindungan undang-undang. Hak asasi manusia sebagai perwujudan sila yang
kedua menempatkan manusia pada mana ia harus mendapatkan kedudukan yang sama
terutama di bidang hukum, karena negara Indonesia merupakan negara hukum.
Seperti apa yang dijelaskan, sebagai negara hukum hak asasi manusia sangat
dihargai dan erlu ditegakkan di dalam pelaksanaan kenegaraan. Penegakan hak
asasi manusia apabila terealisasi akan mewujudkan nilai dari sila yang kedua.
Apabila penegakan hak asasi manusia terealisasi maka kehidupan masyarakat
Indonesia dapat dipastikan akan sejahtera dan tidak akan ada keresahan yang
timbul karena adanya pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini selaras dengan apa
yang telah di bahas dalam pasal 28 a-j, bahwa terdapat semua hak-hak dasar
manusia sebagai manusia seutuhnya.[13]
Alinea IV Pembukaan UUD NRI juga memuat Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia dan falsafah (pandangan hidup) bangsa Indonesia.
Filosofi pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat
terangkum dalam Sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Secara filosofis jika
negara Indonesia mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat
berarti negara menunaikan amanah filosofis nilai kemanusian (sila kedua Pancasila),
nilai kebersamaan (sila ketiga dan keempat Pancasila) dan nilai keadilan (sila
kelima Pancasila).
Secara filosofis pengakuan dan
penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat mencakup 3 hal yaitu:
keberadaan masyarakat hukum adat, keberadaan lembaga/ institusi yang ada dalam
masyarakat hukum adat, dan keberadaan aturan/ norma hukumadat dalam kehidupan
masyarakat hukum adat (Rikardo Simarmata, 2006: 16). Bentuk pengakuan dan penghormatan
negara terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia dapat ditelusuri dari ketentuan-ketentuan
yang ada dalam UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang Undang, dan Peraturan Pemerintah.
Secara filosofis pengakuan dan penghormatan
negara terhadap hukum adat mengandung makna bahwa negara menjamin sistem hukum
yang berlaku di Indonesia yang mencakup unsur hukum tertulis, hukum adat, dan
hukum agama harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai hukum yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai hukum tersebut merupakan pencerminan
nilai-nilai Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai hukum adat yang sesuai
dengan jiwa masyarakat (volkgeist) Indonesia. Nilai-nilai Pancasila identik
dengan kebenaran dan keadilan bagi masyarakat hukum adat dan bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Oleh karena itu tepat jika Pancasila dijadikan sebagai
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Menurut pendapat Sudjito yang diacu oleh
Arif Rahman, bahwa kebenaran nilai-nilai Pancasila itu bersifa
objektif-universal. Sifatnya yang demikian itu menjadikan Pancasila diterima
oleh bangsa sendiri dan mengejawantahkan dalam bentuk hukum adat, sedangkan
pada tingkat global mengejawantahkan dalam bentuk hukum internasional. Oleh
karenanya, hukum adat dan hukum internasional terbuka bertemu dan menyatu dalam
hukum nasional. Pertemuan itu perlu difasilitasi dan diatur oleh Negara dalam
bentuk hukum negara, sehingga keberadaannya tidak mengganggu nasionalisme
Indonesia (Arif Rahman, 2012:20-21).[14]
[2] Rhona K.M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta: 2008, hlm. 279.
[4] Muhammad Jailani, Tanggung jawab Negara Dalam Memberikan Perlindungan
terhadap Hak-hak Korban Pelanggaran HAM
Berat Di Indonesia, Syiar Hukum Jurnal
Ilmu Hukum, Universitas Islam Bandung, Vol. XII, No. 1 Maret 2011, hlm. 84.
[5] Eko
Riyadi (Eds), Mengurai
Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta, 2007, hlm 458.
[6] Eko Riyadi (Eds), Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta,
2007, hlm 460.
[8] Eko Riyadi (Eds), Mengurai Kompleksitas Hak Asasi
Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM
UII) Yogyakarta, 2007, hlm 461.
[10] Yuliana Primawardani, “Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Dalam Melakukan Aktivitas Ekonomi, Sosial Dan Budaya Di Provinsi Maluku”, Jurnal Ham, Badan Penelitian Dan Hukum
Dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum Dan HAM RI, Vol. 8, No. 1, Juli 2017,
hlm. 8-9
[12] Hengki Firmanda, “Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Pedoman
Kebijakan Dan Tindakan Bagi Penyelenggara Negara Dalam Wujud Kontrak Sosial
Bernegara”, Jurnal Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. 9, No. 1 2020, hlm. 4-7
Post a Comment