Eksperimen Manusia yang Melanggar Hukum

Eksperimen terhadap manusia dapat diartikan segala yang dilakukan terhadap seseorang untuk mempelajari bagaimana hal itu dapat mempengaruhi orang ters
Eksperimen Manusia yang Melanggar Hukum
Eksperimen Manusia yang Melanggar Hukum

Eksperimen terhadap manusia dapat diartikan secara luas sebagai segala yang dilakukan terhadap seseorang untuk mempelajari bagaimana hal itu dapat mempengaruhi  seseorang tersebut. Sasaran utamanya adalah didapatnya ilmu pengetahuan baru, bukan sekedar penyembuhan. Jika hasil dari percoboaan tersebut akhirnya menguntungkan orang lain atau bahkan terhadap dirinya sendiri, hal ini tidak berarti bahwa penyembuhan adalah tujuan yang penting. Terdapat tiga hal yang dapat dibedakan dalam hal melibatkan perawatan terhadap subjek manusia. Pertama, perawatan sederhana (tradisonal) dengan menggunakan teknik dan metode yang normal serta disetujui untuk tujuan penyembuhan. Kedua, perawatan penelitian, yang artinya bahwa orang yang sakit dirawat dengan metode dan teknik baru dengan tujuan utama untuk penyembuhan, hal inilah yang terkadang disebut dengan Therapeutic Experimentation. Ketiga, adalah penelitian dengan merawat seseorang dengan prosedur dan obat-obatan baru yang murni untuk tujuan ilmu pengetahuan, hal inilah yang kemudian dikenal dengan Research Experimentation.Terdapat satu pengaturan internasional mengenai penyalahgunaan eksperimen terhadap manusia ini, yaitu Draft Convention for the Prevention and Suppression of Unlawful Human Experimentation (UN Commission on Human Rights), 13 August 1980.[1]

Pengaturan yang mengatur mengenai tawanan perang yang dijadika eksperimen medis terdapat dalam:

a. Konvensi II den Haag 1907
b. UDHR (Universal Declaration of Human Rights)
c. Konvensi Jenewa 1949
d. Kode Nuremberg
e. CIOMS 1993
f. Deklarasi Helsinksi[2]

Menurut pedoman mengenai kode etik internasional untuk penelitian biomedis yang melibatkan subjek manusia yang diterbitkan oleh CIOMS (The Council for International Organizations of Medical Sciences), sebelum meminta persetujuan seseorang untuk berpartisipasi dalam penelitian, peneliti harus memberikan informasi-informasi sebagai berikut, dalam bahasa yang dapat dipahami subjek:

1. Bahwa setiap individu diundang untuk berpartisipasi sebagai subjek dalam penelitian, dan dalam tujuan serta metode penelitian.
2. Perkiraan lama dari partisipasi subjek.
3. Manfaat yang dapat diharapkan terjadi pada subjek atau orang lain sebagai hasil dari penelitian tersebut.
4. Perkiraan resiko atau ketidaknyamanan pada subjek, yang berkaitan dengan partisipasi dalam penelitian tersebut.
5. Prosedur atau cara pengobatan alternatif yang dapat yang dapat menguntungkan bagi subjek ketika prosedur atau pengobatan tersebut diuji.
6. Sejauh mana kerahasiaan catatan dimana subjek diidentifikasi akan dipertahankan.
7. Jika ada, sejauh mana tanggung jawab peneliti untuk memberikan pelayanan medis kepada subjek tersebut.
8. Bahwa terapi akan diberikan secara cuma-cuma untuk jenis cedera tertentu yang berkaitan dengan penelitian.
9. Apakah subjek atau keluarga subjek atau mereka yang menjadi tanggungan subjek atau dikompensasikan bagi kecacatan atau kematian karena cedera.
10. Bahwa individu tersebut bebas untuk menolak berpartisipasi dan bebas untuk menarik diri dari penelitian setiap saat tanpa sanksi atau hilangnya manfaat yang seharusnya menjadi haknya.

Di dalam pedoman tersebut juga dijelaskan mengenai penelitian yang melibatkan tawanan, dimana keterlibatan tawanan sukarela dalam eksperimen medis diijinkan hanya di beberapa negara saja, dan bahkan di negara-negara tersebut hal ini bersifat kontroversial. Tawanan dengan penyakit serius atau beresiko terhadap penyakit serius tidak boleh dengan semena-mena ditolak aksesnya terhadap obat-obat, vaksin, atau alat-alat lainnya yang menunjukkan manfaat terapeutik atau preventif. Eksperimen medis yang sebenarnya dibenarkan oleh dunia medis adalah eskperimen yang dapat memberikan hasil yang baik untuk masyarakat, dimana di dalam Kode Nuremberg disebutkan, “The experiment should be such as yield fruiful results for the good of society, unprocurable by other methods or means of study, and not random and unnecessary in nature.”

Meskipun kini sudah terdapat sekian banyak pengaturan yang mengatur mengenai eksperimen medis yang menggunakan subjek manusia, sesungguhnya pada tahun 1930-an belum ada sistem normatif mengenai kode etik dalam eksperimen terhadap manusia. Kode Nuremberg, yang menjadi dasar etik terhadap eksperimen manusia, baru dibentuk pada tahun 1947 saat Doctors Trials. Namun, pada abad ke-19, sudah banyak peneliti yang menyuarakan suaranya terhadap permasalahan ini di dalam banyak artikel dan jurnal-jurnal medis, dimana mereka merasa eksperimen terhadap manusia adalah suatu hal yang tidak etis dan tidak patut dilakukan.[3]


[1] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Medpress Digital, 2014, hlm. 123.
[2] Nadya Saffina Karim, Dkk., “Tinjauan Yuridis Terhadap Tawanan Perang Yang Dijadikan Eksperimen Medis Pada Perang Dunia Ke-II (Studi Kasus: Unit 731)”, Diponegoro Law Journal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017. hlm. 9.
[3] Nadya Saffina Karim, Dkk., “Tinjauan Yuridis Terhadap Tawanan Perang Yang Dijadikan Eksperimen Medis Pada Perang Dunia Ke-II (Studi Kasus: Unit 731)”, Diponegoro Law Journal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017. Hlm. 5-6.

Post a Comment