Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Revisi Undang-Undang KPK

Penolakan keras dari KPK dan masyarakat sipil membuat upaya revisi UU KPK selalu mengalami kegagalan sejak tahun 2010 sampai 2016. Hal ini menjadi buk

 
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Revisi Undang-Undang KPK
mkri.id

A. Latar Belakang

Hasil revisi UU KPK yang disahkan secara materil dalam rapat paripurna DPR pada 17 September 2019 rupanya diwarnai perdebatan pro dan kontra yang membelah tajam sikap rakyat Indonesia. Menyusul kelompok tertentu yang merasa tidak puas dengan keputusan tersebut bersikeras menentang, mendesak, dan menekan Presiden secara politik melalui aksi demonstrasi besar-besaran yang dimotori mahasiswa.  

Upaya revisi yang dianggap memperkuat oleh DPR RI justru mendapatkan penolakan keras oleh KPK sendiri dan juga para pegiat antikorupsi. Respon internal KPK dengan tegas menolak revisi UU KPK karena menganggap revisi UU KPK akan sangat memperlemah serta akan membuat kinerja lembaga tersebuttidak efektif jika disahkan. Sikap KPK yang menolak juga ditunjukan dengan tindakanseperti konsolidasi internal, dan juga press conference kepada media bahwa KPK dan seluruh jajarannya menolak revisi UU KPK tersebut. Bahkan ketua KPK saat itu yaitu Agus Rahardjo menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya apabila revisi UU KPK itu disahkan. Selain pimpinan KPK, pegawai KPK yang tergabung dalam Wadah Pegawai KPK menyatakan sikap yang sama yaitu menolak tegas revisi UU KPK.

Penolakan keras dari KPK dan masyarakat sipil membuat upaya revisi UU KPK selalu mengalami kegagalan sejak tahun 2010 sampai 2016. Hal ini menjadi bukti dari kuatnya lembaga antikorupsi tersebut dalam bertahan secara internal serta dukungan dari eksternal kepada KPK untuk melawan berbagai pelemahan khususnya revisi UU KPK.  Terkait dengan persoalan revisi UU KPK tersebut ada pihak yang mecoba untuk melakukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi (MK) baik dari segi uji materil maupun uji materil yang mana terdapat tujuh permohan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, peenulis ingin menganalisis putusan MK terkait revisi UU KPK.

B. Analisis Putusan

1. Putusan 79/PUU-XVII/2019

Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, Saut Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, Omi Komaria Madjid, Betti S Alisjhbana, Hariadi Kartdihardjo, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha, Ismid Hadad dan Natalia P.P. Soebagjo.

 Adapun permohonan mereka yaitu :

1. Menyatakan menunda keberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang . 

2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana mengalami cacat formil, sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum; 

3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 

4. Menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang; 

Putusan MK terkait Pengujian Revisi UU KPK yang diajukan oleh empat belas orang tersebut adalah menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Kendati demikian terdapat hakim konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams perihal permohonan pengujian formil terkait UU 19/2019 sebagai berikut:

Bahkan setidaknya terdapat 3 (tiga) opsi koridor untuk memutus perkara pengujian Undang-Undang a quo, yakni: 

1. Pertahankan Undang-Undang a quo (dengan menyatakan menolak seluruh permohonan para Pemohon); 

2. Mahkamah memperbaiki beberapa (bahkan banyak) materi yang terdapat dalam Undang-Undang a quo dengan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon, khususnya para Pemohon uji materiil) agar Undang-Undang a quo menjadi terjamin konstitusionalitasnya; atau 

3. Kembali ke Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum perubahan dan dengan menyatakan bahwa Undang-Undang a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Berdasarkan 3 (tiga) opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, Wahiduddin Adams berijtihad untuk menempuh koridor “jalan tengah terbaik” yang dia yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Dari putusan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa MK tidak mengabulkan seluruh permohonan pemohon akan tetapi terdapat satu orang Hakim Konstitusi yang diseting opinion bahwa Revisi UU KPK adalah tidak berkekuatan hukum tetap dan menyarankan kembali pda UU KPK sebelumnya.

2. Putusan 70/PUU-XVII/2019

Perkara ini dimohonkan oleh lima orang yaitu Fathul Wahid, Abdul Jamil, Eko Riyadi, Ari Wibowo dan Mahrus ali terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada pokok perkaranya mereka memberikan pengujian formil dan pengujian materil uu tersebut.

A. Pengujian Formil

1. Pembentukan UU KPK Cacat Formil Karena Tidak Memenuhi Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 

2. Pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 Melanggar Asas Partisipasi 

3. Pembentukan UU KPK Melanggar Asas Keterbukaan 

4. Pembentukan UU KPK Melanggar Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan 

B. Pengujian Materil

1. Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU KPK bertentangan dengan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 2. Pasal 24 dan Pasal 45a ayat (3) Huruf a UU KPK Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 

3. Pasal 37B ayat (1) Huruf b, Pasal 12B, dan Pasal 47 UU KPK Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 

4. Pasal 40 ayat (1) UU KPK Bertentangan Dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 

Terkait permohonan pengujian formil dan materil Revisi UU KPK, maka MK dalam putusannya memberikan putusan dan pertimbangan pengujian formili, Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam amarnya “menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya”. Sedangkan terkait pengujian materil Mahkamah Konstitusi menyatakan “mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian”.

Adapun permohonan uji materil yang dikabulkan MK terhadap Revisi UU KPK adalah sebagai berikut.

1. Menyatakan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. 

Dengan adanya perubahan makna yang di putuskan oleh MK, maka perluasan KPK yang masuk dalam rumpun eksukutif menjadi lebih indenpenden agi dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

2. Menyatakan Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 

Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) sendiri adalah pasal-pasal yang mengatur tentang Dewan Pengawas, sehingga dengan adanya putusan MK ini maka pasal-pasal tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Menyatakan frasa “dipertanggung jawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal 12C ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “diberitahukan kepada Dewan Pengawas”. Sehingga, Pasal 12C ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan”, menjadi selengkapnya berbunyi “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan”. 

5. Menyatakan frasa “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)”. Sehingga, Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun”, menjadi selengkapnya berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).” 

6. Menyatakan frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja”. Sehingga, Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi “Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan”, menjadi selengkapnya berbunyi “Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan”. 

7. Menyatakan frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas”. Sehingga, Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi, “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas”, menjadi selengkapnya berbunyi “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas.” 

Kesimpulannya adalah dalam pengujian formil MK tidak mengabulkan permohonannya, akan tetapi dalam pengujian materil Revisi UU KPK, MK mengabulkan sebgaian dengan menyatakan ketidak berluakan suatu pasal atau juga merubah suatu rumusan pasal.

3. Putusan 71/PUU-XVII/2019

Permohonan pengujian revisi UU KPK berikutnya dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuak, Dora Ninan Lumban Gaol, Leon Maulana Mirza Pasha, Aisyah Sharifa, Marco Hardianto, Nurfuady Bakir, Agam Gumelar, dan Satria adhitama Sukma.

Adapun petitum ataupun tuntutan permohonan mereka adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 21 ayat (1) huruf a, Bab VA, Pasal 40 ayat (2), Pasal 47, Pasal 69A, Pasal 69D Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 

a. Menyatakan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat” 

b. Menyatakan Pasal 12B ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ketua Pengadilan Negeri Setempat dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan. 

c. Menyatakan Pasal 12B ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.” 

d. Menyatakan Pasal 37B ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Atau 

a. Menyatakan Pasal 12 ayat (1), Pasal 12B ayat (1) dan ayat (4), Pasal 12C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 37B ayat (1) huruf b sepanjang frasa “penyadapan” Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 

b. Menyatakan ketentuan Pasal 12 ayat (1), Pasal 12B ayat (1) dan ayat (4), Pasal 12C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 37B ayat (1) huruf b sepanjang frasa “penyadapan” Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perubahan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun; 

c. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun membentuk undang-undang tersendiri berkenaan dengan Penyadapan; 

3. Menyatakan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 

4. Menyatakan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Komisi Pemberantasan Korupsi wajib membentuk perwakilan di daerah provinsi”; 

5. Menyatakan Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang selama kejahatan asal dari Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut berasal dari Tindak Pidana Korupsi; 

6. Menyatakan frasa “jabatan struktural dan atau jabatan lainnya” pada Pasal 29 huruf i Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai termasuk juga anggota kepolisian Republik Indonesia; 

Terhadap petitum para pemohon tersebut di atas maka MK dalam Konklusinya  berpendapat, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:  

1. Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; 

2. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; 

3. Pokok Permohonan sepanjang inkonstitusionalitas Pasal 12B, Pasal 12C ayat (2), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU 19/2019 adalah kehilangan objek; 

4.  Pokok Permohonan sepanjang inkonstitusionalitas Pasal 12C ayat (1), Pasal 12D, Pasal 40 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 47 ayat (3) dan ayat (4) UU 19/2019 adalah kabur;

5. Pokok Permohonan sepanjang inkonstitusionalitas Pasal 6 huruf e, Pasal 12 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 29 huruf i, Pasal 69A, dan Pasal 69D UU 19/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.

Adapun amar putusan dari MK terkait permohonan pengjian materil UU KPK adalah, Menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40, dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana tidak dapat diterima.

Ada yang unik dalam putusan MK terkait permohonan uji materi revisi UU KPK, dimana di dalam konklusinya kita dapat melihat bahwa permohonan pemohon tidak diterima tanpa membaca amar putusannya. Adapun alasan amar putusannya tidak dapat diterima adalah dalam permohoan pemohon kehilangan objek dan tidak beralasan menurut hukum. Sehingga MK dalam amar putusannya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima bukan amar putusan tidak dikabulkan atau ditolak.

4. Putusan 77/PUU-XVII/2019

Permohonan pengujian revisi UU KPK berikutnya dimohonkan oleh Jovi Andrea Bachtiar, Ricardo Purba, Leonardo Satrio Wicaksono, Jultri Fernando Lumbantobing, Sayid Aziz Imam Mahdi ,Alfian Huzhayya , Galang Brillian Putra , Faiz Abdullah Wafi, Titanio Hasangapan Giovanni Sibarani, Thomas Perdana D.D Sitindaon, Febry Indra Gunawan Sitorus danYusuf Rahmat.

Adapun petitum yang diajukan oleh para pemohon adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

2. Menyatakan bahwa Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

3. Menyatakan bahwa Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “ijin tertulis” dan/atau “ijin tertulis dari Dewan Pengawas” tidak diartikan “persetujuan tertulis dari Pengadilan Negeri setempat atau Mahkamah Agung Republik Indonesia”. 

4. Menyatakan bahwa Pasal 51A ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316) juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tetap berlaku konstitusional sepanjang frasa “mengabulkan Permohonan pemohon” dimaknai mencakup juga “mengabulkan Permohonan pemohon untuk sebagian”. 

5. Menyatakan bahwa Pasal 51A ayat (5) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  tetap berlaku konstitusional sepanjang dimaknai mencakup juga putusan dengan rumusan sebagai berikut: 

a. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan....” atau “tidak diartikan....”; 

b. menyatakan bahwa frasa “.......” dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan....” atau “tidak diartikan....”; 

c. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan....” atau “tidak diartikan....”; 

d. menyatakan bahwa frasa “.......” dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tetap berlaku konstitusional sepanjang “diartikan....” atau “tidak diartikan....”; 

6. Menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  sepanjang frasa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan” berlaku secara konstitusional sepanjang juga dimaknai mencakup “putusan yang amar permohonannya dirumuskan secara bersyarat, baik konstitusional bersyarat (condtitionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). 

7. Menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tetap berlaku konstitusional sepanjang dimaknai mencakup juga putusan dengan rumusan sebagai berikut: 

a. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan....” atau “tidak diartikan....”; 

b. menyatakan bahwa frasa “.......” dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan....” atau “tidak diartikan....”; 

c. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan....” atau “tidak diartikan....”; 

d. menyatakan bahwa frasa “.......” dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tetap berlaku konstitusional sepanjang “diartikan....” atau “tidak diartikan....”; 

Terhadap petitum para pemohon tersebut diatas MK dalam koklusinya menyatakan, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: 

1. Pokok Permohonan sepanjang inkonstitusionalitas norma Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37Bayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) UU KPK adalah kehilangan objek; 

2. Pokok Permohonan sepanjang inkonstitusionalitas normat Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK adalah kabur; 

3. Pokok Permohonan sepanjang inkonstitusionalitas norma Pasal 51A ayat (5) serta Pasal 57 ayat (3) UU MK, dan Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011, adalah tidak beralasan menurut hukum. 

Kemudian amar putusan MK terkait permohonan pengujian Revisi UU KPK adalah  Menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), Pasal 69A ayat (1), dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK tidak dapat diterima dan menolak Permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. 

5. Putusan 73/PUU-XVII/2019

Permohonan ini diajukan oleh Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung. Adapun petitum yang diajukan oleh para pemohon adalah sebagi berikut:

Menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Bahwa tidak hanya orang yang berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi yang oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi siapa pun dapat diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi, sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Dalam putusannya MK memberikan konklisi bahawa berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:  Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. 

Kemudian dalam amar putusan MK menyatakan bahwa Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

6. Putusan 59/PUU-XVII/2019

Pokok Perkara: Permohonan Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Pemohondalam perkara ini adalah  Sholikhah, S.H., Agus Cholik, S.H., Wiwin Taswin, S.H., dkk. Adapun Petitum para pemohon Revisi UU KPK sebagai berikut :

Dalam Permohonan Pengujian Formil 

Menyatakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara formil tidak memenuhi prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan perUndang-Undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011  tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan, dan harus dinyatakan batal demi hukum; 

Dalam Permohonan Pengujian Materiil 

Menyatakan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 

Adapun Amar Putusan MK terhadap petitum para pemohon dengan beberapa pertimbangan adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII, Pemohon XIII, Pemohon XIV, Pemohon XV, Pemohon XVI, Pemohon XVII, Pemohon XVIII, Pemohon XIX, Pemohon XX, Pemohon XXI, dan Pemohon XXII tidak dapat diterima;

2. Menolak permohonan Pemohon IV dan Pemohon VII untuk seluruhnya.

7. Putusan 62/PUU-XVII/2019

Permohonan ini diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra. Adapun petitum dari pemohon yaitu sebagai berikut baik pengujian formil maupun pengujian materil Revisi UUKPK:

1. Menyatakan menunda keberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sampai dengan adanya putusan akhir dalam perkara ini; 

2. Memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk tidak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terkait dengan keberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sampai dengan adanya putusan akhir dalam perkara ini; 

3. Menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

4. Menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 

5. Memerintahkan pemuatan putusan Mahkamah Konstitusi ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia; Atau 

1. Menyatakan muatan materi Pasal 11 ayat (1) huruf a sepanjang menyangkut frasa “dan/atau” Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai “dan” atau “bersifat kumulatif”; 

2. Menyatakan muatan materi Pasal 11 ayat (1) huruf a sepanjang menyangkut frasa “dan/atau” Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “dan” atau “bersifat kumulatif”; 

3. Menyatakan muatan materi Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk calon anggota pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih dalam seleksi yang telah dilakukan menurut dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 

4. Menyatakan muatan materi Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk calon anggota pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih dalam seleksi yang telah dilakukan menurut dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 

Adapun konklusi MK dalam putusan dalam perkara tersebut yaitu: 

1. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; 

2. Permohonan provisi tidak beralasan menurut hukum; 

3. Pokok permohonan pengujian formil mutatis mutandis berlaku pertimbangan hukum perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 dan tidak beralasan menurut hukum; 

4. Pokok permohonan pengujian materiil tidak beralasan menurut hukum.

Adapun amar putusan MK dalam perkara tersebut adalah menolak permohona pemohon untuk  seluruhnya. 

C. Kesimpulan

Dari tujuh permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitsi baik pengujian formil maupun pengujian materi terhadap Revisi UU KPK hanya terdapat satu Putusan yang mengabulkan sebagian permohonan para pemohon yaitu :

Menyatakan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. 

Kemudian  Menyatakan Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 

Selanjutnya Menyatakan frasa “dipertanggung jawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal 12C ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “diberitahukan kepada Dewan Pengawas”. 

Berikutnya menyatakan frasa “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)”. 

Serta menyatakan frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja”. 

Dan menyatakan frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas”.

Post a Comment