Sistem Prosedur Perubahan Konstitusi

Proses perubahan terhadap konstitusi biasanya lazim menggunakan dua macam sistem dalam praktik ketatanegaraan. Pertama, apabila suatu undang-undang

Sistem Prosedur Perubahan Konstitusi


Masalah perubahan konstitusi mempunyai arti penting dalam hukum tata negara. Konstitusi sebagai sebuah dokumen formal yang tidak dapat dipisahkan dari pikiran-pikiran mereka yang telah menetapkannya. Apa yang tercantum dalam konstitusi selalu berhubungan dengan aspirasi pada waktu para penyusun. 

Akan tetapi sebagian manusia dapat berfikir jauh ke depan,  mereka juga menyadari bahwa suatu ketika ditetapkan didalamnya harus sesuai dengan suasana yang baru. Pikian ini membawa perubahan serta pembentukan konstitusi pada suatu masalah yang harus diatur dalam konstitusi, yaitu masalah perubahan konstitusi.[1]

Proses perubahan terhadap konstitusi biasanya lazim menggunakan dua macam sistem dalam praktik ketatanegaraan. Pertama, apabila suatu undang-undang dasar diubah maka yang akan berlaku adalah undang-undang dasar atau konstitusi yang baru secara keseluruhan. Artinya, konstitusi yang sudah diubah bagian atau bagian-bagiannya. Sistem ini dianut oleh hampir seluruh negara didunia, antara lain Belanda, Jerman dan Prancis. 

Kedua, apabila suatu konstitusi diubah, maka yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi merupakan amandemen dari konstitusi yang sebelumnya. Adanya amandemen merupakan bagian dari konstitusinya.  Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.

Konstitusi dapat diubah sesuai kepentingan masyarakatnya, terutama yang disebabkan oleh konfigurasi sosial politik yang terjadi dizamannya. 

Pengertian Perubahan Konstitusi

Menurut Dasril Radjah, perbuatan mengubah harus diartikan dengan mengubah konstitusi yang dalam bahas Inggris adalah To Amend the Constitution sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan Verandring 9verandeeringen) in de Grondwet.

Menurut Sri Soemantri: Dengan memerhatikan pengalaman-pengalaman dalam mengubah konstitusi di Kerajaan Belanda, Amerika Serikat, dan Soviet Uni, maka mengubah undang-undang dasar tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata dan isitilah maupun kalimat dalam undang-undang dasar. Tetapi juga berarti membuat isi ketentuan undang-undang dasar menjadi lain daripada semuloa, melalui penafsiran.


Beberapa prosedur perubahan konstitusi yaitu:

a. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat

Misalnya dengan ditetapkannya forum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan konstitusi dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerimanya ( Belgia, RIS 1994).

b. Referendum atau plebisit ( Swiss, Australia). 

Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui referendum dengan persyaratan tertentu apabila mayoritas setuju, maka perubahan konstitusi dilakukan secara keseluruhan, sebagian atau bagian tertentu.

c. Negara-negara bagian dalam negara federal. 

Berlaku di negara serikat. Karena dianggap sebagai kontrak dengan negara bagian, maka perubahan terhadap konstitusi harus dengan dukungan sebagian besar negara-negara tersebut. Perubahan dapat dilakukan melalui rakyatnya maupun badan perwakilan. 

Perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya dua pertiga anggota kedua kamar kongres (DPR dan Senat) dengan ratifikasi oleh sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah badan perwakilan rakyat negara bagian.

d. Musyawarah Khusus atau special convention (beberapa negara Amerika Latin). 

Cara ini dilakukan apabila untuk mengubah konstitusi harus dibentuk suatu badan khusus yang diberikan wewenang untuk mengubah konstitusi

e. Perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan cara revolusi. 

Artinya pergantian rezim penguasa yang dilakukan bukan dengan cara pemilihan tetapi melalui gerakan massa.

f. Perubahan konstitsi dapat dilakukan melalui cara konvensi. 

Artinya ada kesepakatan tidak tertulis yang menjadi kebiasaan dalam melakukan perubahan konstitusi. Unsur yang terdapat dalam konvensi adalah kelaziman, tradisi, kebiasaan, dan praktik.

Adapun konstitusi juga dapat diganti. 

Hal ini terjadi ketika undang-undang dasar yang ada tidak lagi mencerminkan konstelasi politik atau tidak lagi memenuhi harapan dan aspirasi rakyat.[2]

Macam-macam Perubahan Konstitusi

Menurut C.F. Strong dalam Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan empat cara: 

1. Oleh kekuasaan legislative (by ordinary legislative, but under certain restrictions), 

2. Oleh rakyat melalui referendum (by the people through of referendrum), 

3. Oleh sejumlah Negara bagian (by a major of all units of a federal state) dan 

4. Dengan konvensi ketatanegaraan (by special convention)

a. By Ordinary Legislative, But Under Certain Restrictions

Perubahan konstitusi menurut system ini berdasarkan tiga jalan:

1) Untuk dapat mengubah konstitusi, dalam siding harus dihadiri oleh paling sedikit dua pertiga atau empat perlima dari seluruh jumlah anggota (fixed quorum of members); dan keputusan tentang perubahan baru sah apabila usul-usul pengubahan disetujui oleh suara terbanyak (dua per tiga anggota lembaga perwakilan rakyat yang hadir)

2) Sebelum pengubahan dilakukan, lembaga perwakilan rakyat dibubarkan, kemudian diadakan pemilu yang baru; dan lembaga perwakilan rakyat yang baru inilah (sebagai constituante) yang kemudian melakukan perubahan terhadapa konstitusi

3) Untuk mengubah konstitusi, dua lembaga perwakilan rakyat (bicameral system, DPR-MPR) melakukan siding gabungan sebagai suatu badan. Keputusan perubahan konstitusi sah apabila disetujui dengan suara terbanyak dari anggota-anggotanya.

b. By the People Through of Referendum

Cara ini terjadi apabila pengubahan konstitusi memerlukan adanya pendapat langsung dari rakyat. Pendapat rakyat dapat dilakukan melalui referendum, plebisit, atau popular vote. Contoh referendum di Perancis, dimana de Gaulle yang diberi wewenang khusus melakukan pengubahan terhadap konstitusi dengan melakukan rancangan pengubahan kemudian rancangan itu disampaikan kepada rakyat dalam suatu referendum

c. By a Major of All Units of a Federal State

Cara ini hanya terjadi di Negara federal. Karena pembentukan Negara federal dilakukan olhe Negara-negara yang membentuknya dan konstitusinya merupakan bentuk perjanjian (traktat) antara Negara-negara tadi, maka pengubahan konstitusi memerlukan adanya persetujuan Negara-negara anggota (Negara-negara bagian). 

Misal, di Swiss dan Australia pengubahan konstitusi memerlukan adanya persetujuan rakyat (lembaga perwakilan rakyat) masing-masing negara-negara anggota.

d. By Special Convention

Cara ini terjadi apabila untuk mengubah konstitusi mengharuskan dibentuknya suatu badan khusus. Missal, untuk mengubah UUDS 1950 dibentuk sebuah badan khusus yang dinamakan Majelis Perubahan Undang-undang Dasar

Menurut K.C. Wheare, cara mengubah konstitusi dapat dilakukan melalui empat cara: (1) some primary forces (2) Formal amendment (3) judicial interpretation dan (4) usages and costums

a. Some Primary Forces

Cara pengubahan konstitusi yang dilakukan atau terjadi oleh sebagian besar rakyat suatu Negara yang merupakan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh atau dominan dalam kehidupan Negara yang bersangkutan, atau oleh golongan-golongan yang kluat didalam masyarakat.

b. Formal Amendment

Cara pengubahan konstitusi suatu Negara apabila pengubahan itu dilakukan dengan atau melalui ketentuan-ketentuan yang telah tercantum di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

c. Judicial Interpretation

Cara pengubahan konstitusi yang dilakukan atau melalui penafsiran berdasarkan hukum. Missal, tafsir ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang pengubahan UUD dapat ditafsirkan bahwa perubahan UUD 1945 bukan hanya pada batang tubuh saja, melainkan dapat dilakukan baik pada batang tubuh, penjelasan maupun pembukaannya

d. Usages and Customs

Usages (kebiasaan) dan customs (adat isitiadat) ketatangeraanya. Misal pidato presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan siding pleno DPR-MPR dan pemukulan palu oleh ketua DPR RI  pada setiap pembukaan siding, dan lainnya.[3]

Perubahan Konstitusi Di Indonesia

Perkembangan dan perubahan konstitusi di Indonesia seperti diuraikan dalam pembahasan sebagai berikut:

a. Periode 18 agustus 1945 – 27 desember 1949, masa berlakunya UUD 1945

Pada masa periode pertama kali terbentuknya Negara Republik Indonesia, konstitusi atau UUD 1945 hasil rancangan BPUPKI, kemudian disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945. Menurut UUD 1945 kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR yang merupakan lembaga tertinggi Negara.

Pada masa ini, terbukti bahwa konstitusi belum dijalankan secara murni dan konsekuen, sistem ketatanegaraan berubah-ubah, terutama pada saat dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 oktober 1945, yang berisi bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat bersama Presiden menetapkan UU, dan dalam menjalankan tugas sehari-hari dibentuklah badan pekerja yang bertanggungjawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat.

b. Periode 27 desember 1945 – 17 agustus 1950, masaberlakunya UUD RIS

Disepakati untuk mengadakan KMB di Den Haag, Belanda dengan menghasilkan tigabuah persetujuan, yaitu:

1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat

2. Penyerahan  kedaulatan kepada RIS

3.Didirikan Uni anatar RIS dengan Kerajaan Belanda

Pada tahun 1949 berubahlah konstitusi Indonesia yaitu dari UUD 1945 menjadi UUD RIS, maka berubah pula bentuk Negara Kesatuan menjadi Negara serikat.

Selama berlangsungnya KMB di Den Haag itu, dibentuk Panitia Ketatanegaraan  dan Hukum Tata Negara yang antara lain membahas rancangan konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat. Panitia ini telah menyelesaikan pekerjaannya, dan pada tanggal 29 oktober 1949, antara wakil-wakil Republik Indonesia dan BFO, negara-negara federal yang telah dibentuk Belanda, ditandatangani Piagam Persetujuan tentang Konstitusi Republik Indonesia Serikat.[4]  

c. Periode 17 agustus 1950-5 juli 1959, masaberlakunya UUDS 1950

Konstitusi RIS tidak berumur panjang, hal itu disebabkan karena isi konstitusi tidak berakar dari kehendak rakyat. Kemudian disepakati kembali untuk menggunakan UUDS 1950. Sistem pemerintahannya adalah parlementer.

d. Periode 5 juli 1959 – 19 oktober 1999, masa berlakunya UUD 1945

Pada periode ini UUD 1945 diberlakukan kembali dengan dasar dekrit presiden 5 juli 1959. Berlakunya kembali UUD 1945, berarti mengubah sistem ketatanegaraan. Keberadaan partai politik dibatasi hanya tiga saja, sehingga demokrasi terkesan mandul, tidak ada kebebasan bagi rakyat yang ingin menyampaikan kehendaknya, walaupun pilar kekuasaan Negara seperti eksekutif, legislative, yudikatif sudah ada tapi perannya tidak sepenuhnya. 

Kemauan politik menghendaki kekuatan Negara berada ditangan satu orang yaitu Presiden, sehingga menimbulkan demonstrasi besar pada tahun 1998 dengan tuntutan reformasi, yang berujung pada pergantian kepempimpinan nasional.

e. Periode 19 oktober 1999 - 10 agustus 2002, masa berlaku pelaksanaan perubahan UUD 1945

Dalam melakukan perubahan UUD 1945, MPR menetapkan lima kesepakatan, yaitu:

1. Tidak mengubah pembentukan UUD Negara Republik Indonesia 1945

2. Tetap mempertahankan NKRI

3. Mempertegas sistem pemerintah presidensial

4. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif.

5. Melakukan perubahan dengan cara addendum

f. Periode 10 agustus 2002 – sekarang, masa berlakunya UUD 1945 setelah mengalami perubahan

Pada saat reformasi, agenda yang utama adalah melaksanakan perubahan UUD 1945, yaitu telah terselenggara pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan berhasil menetapkan perubahan UUD 1945 yang pertama, kemudian disusul perubahan kedua, ketiga dan keempat.

Nuansa demokrasi lebih terjamin pada masa UUD 1945 setelah mengalami perubahan. Pelaksaan otonomi daerah lebih terurai lebih rinci lagi dalam UUD 1945 setelah perubahan, sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara semata di daerah-daerah. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dijamin lebih baik dan diurai lebih rinci lagi.[5]

Undang-Undang Dasar sebagai hasil perwujudan keinginan bangsa diwaktu UUD dibentuk, namun bukan berarti UUD tersebut tidak dapat dirubah. Bagaimanapun zaman pada saat undang-undang dibentuk dengan perjalanan zaman semakin berkembang dan membutuhkan aturan dasar yang lebih rigid. 

Tetapi bagaimanapun sebuah undang-undang itu, rigid masih dipandang perlu adanya hukum yang mengaturkan tentang perubahan. Walaupun dalam persyaratan harus murni dan ketat. Perubahan UUD yang rumit dan  ketat dimaksudkan untuk upaya mempertahankan UUD. Menurut K.C. Wheare dalam Modern Constitutions, ada empat sasaran tujuan dalam mempersulit perubahan UUD, yaitu:

1. Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak.

2. Agar rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya.

3. Berlaku untuk Negara serikat, agar kekuasaan Negara serikat dan Negara bagian tidak dirubah semata-mata untuk kepentingannya sendiri.

4. Supaya hak perseorangan atau kelompok, seperti kelompok minoritas bahasa, kelompok minoritas agama atau kebudayaan mendapat jaminan.[6]



[1]  Emilda Firdaus, Hukum Tata Negara, (Pekanbaru: UNRI Press,), hal. 95.

[2] Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika). Hal. 97-98

[3] Titik triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, hal. 98 -102

[4]Taufiqurrohman Syahhuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Hal.13

[5] M. Agus santoso, Jurnal Perkembangan Konstitusi di Indonesia, (Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda, 2013

[6] Irwan Yulianto, Prosedur dan sistem perubahan konstitusi negara kesatuan republik indonesia, Jurnal.unars.ac.id

Post a Comment