Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan |
Asas kesalahan dalam KUHP Indonesia adalah suatu asas yang tidak tertulis dalam KUHP. Berbeda denga asas legalitas yang terumus dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Adapun jenis kesalahan dalam hukum pidana terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Apabila unsur kesalahan tidak terbukti maka pelaku tidak dapat dipidana.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan berhubungan erat dengan teori pertanggungjawaban pidana. Karena untuk adanya pertanggungjawaban pidana, maka keselahan dari pelaku tindak pidana harus terbukti.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan berarti tiada satu orangpun
dapat dipertanggungjawabkan . terhadap hukum pidana, tanpa ia melakukan suatu perbuatan pidana
karena sengaja ataupun karena kealpaan. Dengan perkataan lain, yaitu bahwa
seseorang baru dapat dipidana, hanya apabila orang tersebut benar-benar telah
melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, dan perbuatan
yang dilakukannya itu harus karena kesengajaan ataupun karena kealpaan.[2]
Asas
Tiada Pidana Tanpa Kesalahan atau dalam istilah lain disebut dengan asas Geen
Straf Zonder Schuld, atau No Punishment Without Fault, atau Actus
non facit reum nisi mens sist rea. Asas ini berasal dari Yurisprudensi Hooge
Raad (Belanda) pada tanggal 14 Februari 1916. Asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam bahasa belanda disebut juga dengan Geen Straf Zonder Schuld.
Asas hukum pidana ini berhubungan
dengan masalah pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang dilandaskan pada
presumsi bahwa schuld tidak dapat dimengerti tanpa adanya melawan hukum (wederrechtelijke),
tapi sebaliknya, melawan hukum mungkin tanpa adanya kesalahan.
Berdasarkan asas
ini, meskipun seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan telah memenuhi
unsur-unsur yang dirumuskan dalam delik, perlu dibuktikan pula apakah dia dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak atas perbuatannya tersebut, artinya apakah dia
mempunyai kesalahan atau tidak.[3]
Jadi, asas geen straf zonder schuld adalah asas yang menyatakan bahwa suatu perbuatan pidana tidak dapat dipidana tanpa adanya kesalahan.
Guna
mengetahui mengapa asas “tiada pidana tanpa kesalahan” ini sebagai suatu asas
yang penting perlu diketahui apa yang dimaksud dengan asas ini? E.Ph. R.
Sutorius mencoba mengartikan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Menurutnya, “pertama-tama harus diperhatikan bahwa kesalahan
selalu hanya mengenai perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan.
Ditinjau secara lebih mendalam, bahwa kesalahan memandang hubungan
antara perbuatan tidak patut dan pelakuknya sedemikian rupa, sehingga perbuatan
itu dalam arti kata yang sesungguhnya merupakan perbuatannya. Perbuatan ini
tidak hanya objektif tidak patut, tetapi juga dapat dicelakan kepadanya. Dapat
dicela itu bukanlah inti dari pengertian kesalahan, melainkan akibat dari
kesalahan. Sebab hubungan antara perbuatan dan pelakunya itu selalu membawa
celaan, maka orang dapat menamakan sebagai “dapat dicela”.
Sehingga, kalau
dirangkumkan akan menjadi bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan mempunyai
arti bahwa agar dapat menjatuhkan pidana, tidak hanya disyaratkan bahwa
seseorang telah berbuat tidak patut secara objektif, tetapi juga perbuatan
tidak patut itu dapat dicelakan kepadanya”.[4]
Romli Atmasasmita mengajukan beberapa pertimbangan terkait mengapa penting membahas asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yaitu:
1. Asas ini mencerminkan aspek filosofi mengenai pikiran manusia (the philosophy of human minds) dan kewajiban seorang manusia.
2. Asas ini merupakan wujud aplikasi dari teori klasik mengenai fungsi hukum pidana dalam masyarakat yang mencerminkan keterkaitan antara tindak pidana (perbuatan yang dapat dihukum) dan pertanggungjawaban pidana.
3. Asas ini merupakan justifikasi penjatuhan hukuman.
4. Asas ini tidak selalu menghasilkan kepastian hukum, akan tetapi yang terjadi adalah kepastian hukum dalam ketidakpastian hukum (legal certainty in a legal uncertainty).
Romli Atmasasmita mengajukan beberapa pertimbangan terkait mengapa penting membahas asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yaitu:
1. Asas ini mencerminkan aspek filosofi mengenai pikiran manusia (the philosophy of human minds) dan kewajiban seorang manusia.
2. Asas ini merupakan wujud aplikasi dari teori klasik mengenai fungsi hukum pidana dalam masyarakat yang mencerminkan keterkaitan antara tindak pidana (perbuatan yang dapat dihukum) dan pertanggungjawaban pidana.
3. Asas ini merupakan justifikasi penjatuhan hukuman.
4. Asas ini tidak selalu menghasilkan kepastian hukum, akan tetapi yang terjadi adalah kepastian hukum dalam ketidakpastian hukum (legal certainty in a legal uncertainty).
Berdasarkan
keempat pertimbangan tersebut, persoalan tiada pidana tanpa kesalahan; memiliki
sumber sejarah mengenai hubungan negara dan warganya adalah apakah negara
berhak menghukum dan sejauh manakah negara dapat menjatuhkan hukuman, dan dalam
konteks hukum pidana, apakah negara dapat menghukum moralitas jika hukum pidana
masih didasarkan pada moralitas-imoralitas?[6]
Kesalahan
memiliki arti penting sebagai asas tak tertulis dalam hukum positif Indonesia
yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”. Artinya suatu perbuatan
diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri pembuat untuk dapat dimintai
pertanggungjawaban atasnya.[7]
Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari
segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut. Definisi ini disusun oleh tiga komponen utama, yaitu: dapat
dicela, dilihat dari segi masyarakat dan dapat berbuat lain.[8]
Dapat dicela disini mempunyai dua
pengertian. Pertama, dapat dicela berarti dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana. Dalam hal ini kesalahan diberi makna dalam hubungannya dengan
fungsi preventif hukum pidana. Kata “dapat” di sini menunjukkan bahwa celaan
atau pertanggungjawaban pidana itu hilang, jika pembuat mempunyai alasan
penghapus esalahan.
Kedua, “dapat dicela” dapat pula diartikan sebagai “dapat
dijatuhi pidana”. Dalam hal ini, kesalahan diberi makna dalam hubungannya
dengan fungsi represif hukum pidana. Kata “dapat” dalam hal ini menunjukkan
bahwa celaan atau penjatuhan pidana tidak harus selalu dilakukan hakim. Hakim
dapat saja hanya mengenakan tindakan, sekalipun tindak pidana terbukti dan
terdakwa bersalah melakukannya. Selain itu, dapat saja celaan atau penjatuhan
pidana tidak dilakukan, jika hakim memutuskan untuk memberi pangampunan (rechterlijk-pardon). Dalam keputusannya,
hakim dapat saja menyatakan seseorang terbukti melakukan tindak pidana dengan
kesalahan, tapi tidak menjatuhkan pidana terhadapnya.[9]
Menurut Moeljatno, orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian? Jika begitu, tentunya perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan, dan celaannya lalu berupa: kenapa melakukan perbuata yang dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat? Kecuali itu, orang juga dapat dicela.
Contoh kasus asas tiada pidana tanpa kesalahan adalah seseorang yang melakukan perbuatan pidana tiak dipidana kerena tidak terbukti adanya niat berupa kesengajaan atau kealpaan.
Lalu apa yang dimaksud tidak ada pidana tanpa peristiwa pidana apa perbedaannya dengan asas tiada pidana tanpa keselahan.Tidak ada pidana tanpa peristiwa pidana artinya, suatu sanksi pidana tidak dapat diberikan apabila tidak adanya tindak pidana atau peristiwa pidana. Sehingga, perlu terlebih dahulu bukti yang cukup untuk adanya peristiwa pidana.
Demikianlah pembahasan mengenai asas tiada pidana tanpa kesalahan, asas pidana tanpa kesalahan, asas geen straf zonder schuld adalah, contoh kasus asas tiada pidana tanpa kesalahan, asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam bahasa belanda disebut, apa yang dimaksud tidak ada pidana tanpa peristiwa pidana, asas kesalahan dalam kuhp indonesia, jenis kesalahan dalam hukum pidana, teori pertanggungjawaban pidana, dan kesalahan dalam hukum pidana pdf
[1] Ignatius Sriyanto, “Asas Tiada Kesalahan Dalam Pertanggungjawaban Pidana Dengan Penyimpangannya”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol. 23, No. 2 April 1993, hlm. 161.
[2] Ibid., hlm. 164.
[3] Lukman Hakim, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Ajar Bagi Mahasiswa, Penerbit Deepublish, Yogyakarta: 2020, hlm. 20.
[4] Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta Selatan: 2015, hlm. 10.
[5] Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Geen Straf Zonder Schuld, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2018, hlm. 143.
[6] Ibid.
[7] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT RajaGrafindoPersada, Jakarta: 2013, hlm. 226-227.
[8] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenanda Media Group, Jakarta: 2011, hlm. 77.
[9] Ibid., hlm. 77-78.
[1] Ignatius Sriyanto, “Asas Tiada Kesalahan Dalam Pertanggungjawaban Pidana Dengan Penyimpangannya”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol. 23, No. 2 April 1993, hlm. 161.
[2] Ibid., hlm. 164.
[3] Lukman Hakim, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Ajar Bagi Mahasiswa, Penerbit Deepublish, Yogyakarta: 2020, hlm. 20.
[4] Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta Selatan: 2015, hlm. 10.
[5] Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Geen Straf Zonder Schuld, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2018, hlm. 143.
[6] Ibid.
[7] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT RajaGrafindoPersada, Jakarta: 2013, hlm. 226-227.
[8] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenanda Media Group, Jakarta: 2011, hlm. 77.
[9] Ibid., hlm. 77-78.
Post a Comment