Aksara Hukum - Asas hukum merupakan jantungnya suatu peraturan hukum. Asas legalitas adalah asas tertulis yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas ini bertujuan agar suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila belum peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Sehingga dengan adanya asas ini dapatlah tercapai tujuan hukum yaitu kepastian hukum.
1. Sejarah Asas Legalitas dan Perkembangan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775 -1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Apa yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendasar yang dalam bahasa Latin berbunyi: nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali.Ketiga frasa tersebut kemudian menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, prinsip hukum Romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu.
Pada zaman Romawi dikenal adanya crimine extra ordinaria yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Di antara crimine extra ordinaria ini adalah crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja.
Pada zaman itu hukum pidana sebagian besar tidak tertulis sehingga kekuasaan raja yang sangat absolut dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenang-wenang. Penduduk tidak mengetahui secara pasti mana perbuatan yang dilarang dan mana perbuatan yang tidak dilarang.
Proses pengadilan berjalan tidak fair karena hukum ditetapkan menurut perasaan hukum hakim yang mengadili. Pada saat yang bersamaan muncul para ahli pikir seperti Montesquieu dan Rousseau yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undang-undang tertulis.
Pasca-revolusi Perancis struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individus. Mungkin karena asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin, ada yang beranggapan bahwa rumusan ini berasal dari hukum Romawi kuno, Padahal, menurut Moeljatno, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi kuno.
Demikian pula menurut Sahetapy yang menyatakan bahwa asas legalitas yang dirumuskan dalam bahasa Latin adalah karena bahasa Latin merupakan bahasa dunia hukum yang digunakan pada waktu itu.
Mengenai hal ini, Hazewinkel Suringa menyatakan: Art. 1 dan luidt: Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling. De jurisi'ische wetenschaap pleegt deze regel aan te diden als 'nullum delictum nocla poena sine praevia lege poenali. Dit zou de indruk kunnen wekken, dat het hier zou gaan om een voorschrift van Romeinse oorsprong, hetgeen echter niet het geval is. Noch tijden de republiek noch tijden het principaat heeft in Rome een dergelijke regel gegolden.Hij is zijn latijnse formulering afkomstig van von Feuerbach, hij stamt dus uit het begin der 19e eeuw en is te beschowen als cen product van de klassieke schoo.
(Pasal 1: Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Dalam pengetahuan hukum aturan ini dikenal sebagai “nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali”. Ada yang beranggapan bahwa asas ini ditulis dan berasal dari hukum Romawi, padahal tidak. Pada zaman republik, demikian juga dalam zaman Roma, prinsip ini tidak terdapat dalam aturan. Asas ini dalam bahasa Latin diformulasikan oleh von Feuerbach pada awal ke-19 dan merupakan produk dari aliran klasik).
Ada pula yang berpendapat bahwa asas legalitas seolah-olah berasal dari ajaran Montesquieu yang dituangkan dalam bukunya L'Esprit des Lois, 1748. Menurut Montesquieu, dalam pemerintahan yang moderat hakim harus berkedudukan terpisah dari penguasa dan harus menghukum dengan setepat mungkin sesuai ketentuan harafiah hukum. Hakim harus bertindak berhati-hati untuk menghindari tuduhan tidak adil terhadap orang-orang yang tidak bersalah.
Ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Demikian pula asas legalitas mempunyai tujuan yang sama yaitu melindungi individu terhadap perlakuan sewenang-wenang pihak peradilan arbitrair, yang pada zaman sebelum revolusi Perancis menjadi suatu kenyataan yang umum di Eropa Barat.
Dalam handboek-nya Pompe secara tegas menyatakan, “De strekking van de eerste regel was steeds, een waarborg te stellen voor de individucle vrijhcid willekeur der overhied” (Tujuan dari peraturan yang pertama adalah menjamin kebebasan individual terhadap kesewenang-wenangan penguasa).
Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa, baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam pelajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas.
Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah untuk melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap suatu tuntutan tindakan yang sewenang-wenang, Sementara komentar Hans Kelsen terhadap prinsip nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.
Legal positivisme ini iebih menjamin pada kepastian hukum sebagaimana komentar Simons terhadap asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP (Pasal 4 Code Penal Perancis). Simons menyatakan: “De regel, opgenomen in art. 4 C.P., werd gehandhaafd bij art 1 lid 1 van ons wetbock van strafrecht. Naar mijne meening mag die regel, en voor zoover hij den eisch stelt van het voorafgaan van verbods of gebodvoorschrift en voor zoover hij vordert de voorafgaande bedreiging van de straf, ook nu nog worden beschouwd als een te waarderen waarborg voor persoonlijke rechtszekerheid en behooren de daaruit voortspruitende consequenties te worden aanvaard zoowel bij de formuleering als bij de uitlegging der strafbepalingen. Zeer algemeen gestelde bepalingen, waarbij hetgeen al dan niet wordt strabaar verklaard vrijwel onzeker blijft, mocten worden afgekeurd.
(Ketentuan Pasal 4 Code Penal tetap dipertahankan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita. Menurut pendapat saya peraturan tersebut hingga kini tetap dipandang sebagai suatu pengakuan terhadap adanya kepastian hukum bagi pribadi-pribadi yang harus dijamin, selama peraturan tersebut mensyaratkan bahwa peraturan yang bersifat mengharuskan atau yang bersifat melarang itu harus ada terlebih dahulu dan selama mensyaratkan bahwa ancaman pidana itu harus telah ada terlebih dahulu sebelum perbuatan itu sendiri).
Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas legalitas, maka sulit dinafikan bahwa asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu sebagai ciri utama tujuan hukum pidana menurut aliran klasik.
Secara tegas seorang juris pidana terkenal dari Jerman, Franz von Liszt menulis, “the nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege Principles are the bulwark of the citizen against the State's omnipotence; they protect the individual against the brutal force of the majority, egainst the Leviathan”.
Menurut Fletcher, melindungi individu
dari kesewenang-wenangan negara adalah
prinsip negatif legalitas, sedangkan prinsip positif legalitas adalah
melindungi masyarakat dari kejahatan dengan menghukum pelaku kejahatan yang
bersalah oleh negara.
Terkait dengan asas legalitas yang diajarkan oleh Feuerbach, sebenarnya menghendaki penjeraan tidak melalui pengenaan pidana, namun melalui ancaman pidana di dalam perundang-undangan schingga harus dicantumkan dengan jelas kejahatan dan pidananya. Teori asas legalitasnya Feuerbach ini kemudian dikenal dengan psycologischezwang.
Artinya, untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang pidana, tidak hanya perbuatan tersebut dituliskan dengan jelas dalam undang-undang pidana tetapi juga mengenai macamnya pidana yang diancamkan. Hal ini dimaksud agar orang yang akan melakukan perbuatan pidana mengetahui lebih dahulu perihal pidana yang diancamkan.
Dengan demikian diharapkan ada perasaan takut dalam batin orang tersebut untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Olech van der Donk dikatakan bahwa maksud ajaran Feuerbach ini adalah membatasi hasrat manusia untuk berbuat jahat.
Jika memang demikian ajaran Feuerbach dengan psycologischezwang-nya, maka menurut Sahetapy dalam penelitian disertasinya, bukanlah Feuerbach yang pertama kali mengemukakan teori tersebut melainkan Samuel von Pufendorf. Secara tegas dinyatakan oleh Samuel von Pufendorf bahwa ancaman pidana dimaksudkan untuk menakutkan dan karenanya menahan orang untuk berbuat dosa dan dengan demikian mereka akan patuh pada hukum.
Demikian pula perihal asas legalitas, masih
menurut Sahetapy yang mengutip Oppenheimer, bukanlah Feuerbach yang pertama
kali mengemukakan Asas tersebut melainkan Talmudic
Jurisprudence.
Bahkan apabila kita mengkaji lebih jauh, ruh dari asas legalitas ini sebenarnya terdapat dalam Perjanjian Baru yang berisi Injil, surat-surat Paulus dan surat-surat lainnya. Dalam Surat Paulus Kepada Jemaat Di Roma, tepatnya Roma Pasal 5 ayat (13) berbunyi, “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat. Berdasarkan Roma Pasal 5 ayat (13) tersebut, jika kita menganalogikan dosa itu sebagai perbuatan pidana, maka tidak ada perbuatan pidana sebelum ada aturan hukumnya.
Menurut M. Shokry El - Dakkak, asas legalitas dalam hukum Islam secara implisit terdapat dalam Al-Qur'an, Surat Al Israa' ayat 15. Dalam surat tersebut dikatakan, "Siapa yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah, maka ia sendiri yang akan menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Berdasarkan ayat tersebut, hukum Islam tidak hanya mengakui asas legalitas tetapi juga memberi dasar bagi asas pertanggungjawaban pribadi dalam hukum pidana. Dalam perkembangan selanjutnya asas ini disimpangi di beberapa negara. Perihal penyimpangan ini dikemukakan oleh Hazewinkel Suringa sebagai berikut: “Het principe van ons art.1 is in de meeste codificaties der 19e eeuw opgenomen; in de 20e is het in sommige landen weer prijsgegeven. Zo heeft in 1926 Rusland, in 1935 Duitsland dit palladium van individuele rechtszekerheid en rechtsgelijkheid vernietigd, in zoverre, dat de straf rechter tot taak kreeg de gedrangingen niet slechts aan de delictsformules te toetsen, maar ook aan de sociale gevaarlijkheid, met als maatstraf het gezonde volksgevoelen. Analogische wetstocpassing werd onbeperkt toegestaan.
(Prinsip dari Pasal 1 dimuat dalam konstitusi pada abad ke-19; dalam abad ke-20 di beberapa negara asas tersebut dilepas. Di Rusia pada tahun 1926, di Jerman pada tahun 1935 asas kepastian dan persamaan individu dihapus, sepanjang hakim pidana menilai perbuatan-perbuatan tidak saja menurut rumusan delik, tetapi juga dilihat pandangan masyarakat apakah perbuatan tersebut membahayakan masyarakat dengan akibat yang ditimbulkan. Penerapan undang-undang dengan analogi dalam hal tertentu diperbolehkan).
Apa yang dikemukakan oleh Suringa dapat kita lihat bahwa Rusia adalah negara pertama yang mengesampingkan asas legalitas pada tahun 1926, Adapun yang dijadikan alasannya adalah bahwa asas legalitas lebih menitikberatkan perlindungan pada kepentingan individu, sementara kepentingan masyarakat harus lebih diutamakan.
Sementara Jerman mengesampingkan asas tersebut dengan menghapus larangan analogi dalam hukum pidana yang dipengaruhi pemerintah nasional sosialis (NAZI) yang berkuasa pada saat itu. Pada tahun 1933 Jerman memperkenalkan Lex van der Lubbe.
Marines van der Lubbe adalah seorang Belanda yang dianggap sebagai kaki tangan komunis dan membakar Reichtstaatgebouw pada tanggal 27 Februari 1933. Pemerintah NAZI Jerman kemudian mengeluarkan undang-undang tertanggal 23 Maret 1933 yang diberlakukan surut sampai tanggal 31 Januari 1933 dengan maksud agar peristiwa itu dapat diadili dengan undang-undang tersebut.
Sedangkan di Belanda, asas legalitas ini disimpangi pada tahun 1945 setelah perang dunia kedua berakhir. Pemerintah Belanda mengeluarkan Besluit Buitengewoon Strafrecht (BBS) atau ketetapan hukum pidana luar biasa yang memberlakukan surut delik terhadap keamanan negara sejak tanggal 22 Desember 1943. Dalam Pasal 3 BBS menetapkan Pasal 1 KUHP tidak berlaku bagi penetapan sebagaimana yang diatur dalam Ketetapan London.
Di Indonesia sendiri pada zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda, asas legalitas pernah disimpangi dengan dikeluarkannya Brisbane Ordonanntie. Brisbane adalah kota kecil di Australia yang digunakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk melarikan diri dari kejaran bala tentara Dai Nippon agar dapat terus melanggengkan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda di sana selama perang dunia kedua. Ketika Jepang menyerah kepada sekutu dalam perang dunia kedua, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad yang kemudian dikenal dengan nama S. 45 - 135 atau biasa disebut dengan Brisbane Ordonanntie.
Dalam konsideran ordonanntie tersebut dikatakan antara lain bahwa demi kepentingan keamanan negara (... in het belang van de veiligheid van den staat...), perbuatan-perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan mana begitu berbahaya yang patut dipidana (... begane feiten welke zoo ernstige mate strafwaardig zijn ...) tanpa memperhatikan atau menggunakan ketentuan Pasal 1 KUHP (... zonder dat een beroep op het bepaalde in art. 1 van het Wetb.v.Strafr. bij die berechting dient worden toegelaten ...). Selanjutnya dalam Pasal 18 Brisbane Ordonanntie secara eksplisit dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 KUHP tidak diterapkan terhadap ordonanntie ini.
Perihal sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana, dengan segala faktor yang mempengaruhinya terdapat empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh asas legalitas.
Pertama,
asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan individu
untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum.
Adagium yang dipakai oleh
ajaran ini menurut G.W. Paton adalah nulla
poena sine lege. Perlindungan individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih
dahulu untuk menentukan perbuatan pidana dan pemidanaan dalam undang-undang.
Kedua, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah ciptaan Feuerbach: nullum delictum, nulla peona sine praevia lege poenali.
Ketiga, asas legalitas hukum pidana yang meniktikberatkan tidak hanya pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana.
Keempat, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas di sini bukan hanya kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja akan tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu tidak mungkin ada perbuatan jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Adagium yang dipakai di sini adalah nullum crimen sine poena (Eddy O.S. Hiariej, 2016 : 62-70).
Pada saat ini, penerapan asas legalitas berada dalam tahap yang mengkhawatirkan di mana para penegak hukum seringkali menggunakan hukum pidana secara kaku berdasarkan asas legalitas yang berdasarkan undang-undang. Padahal dalam kenyataannya seringkali masalah yang timbul dalam hukum pidana tidak mesti diselesaikan dengan penyelesaian hukum pidana. Inilah yang membedakan penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat dengan dalam sistem hukum positif Indonesia yang diwariskan Hindia Belanda.
Bagi penegak hukum Indonesia saat ini, satu-satunya sumber penyelesaian sengketa adalah undang-undang dalam hal ini KUHP dan hukum pidana khusus. Inilah sebabnya mengapa seringkali terjadi perbedaan rasa keadilan antara masyarakat dengan penegak hukum. Berbeda dengan dalam sistem hukum Anglo Saxon di mana penyelesaian sengketa di lapangan hukum pidana didasarkan pada yurisprudensi dan pendapat masyarakat.
Pada awalnya, asas legalitas diperkenalkan dalam lapangan hukum pidana adalah untuk menghindari kesewenang-wenangan atau ketidakpastian dalam penerapan hukum pidana. Penerapan hukum pidana berdasarkan kebiasaan atau penafsiran hakim belaka cenderung menim- bulkanketidakpastian hukum. Pidana terhadap orang tertentu dengan kasus yang sama bisa saja berbeda dan sebaliknya. Dengan kata lain, hukum pidana digunakan berdasarkan kepentingan penguasa. Guna mengatasi ketidakpastian itulah, Becaria di Italia (1764) mengusulkan agar hukum pidana harus tertulis supaya hak asasi manusia dapat dijamin dan dapat mengetahui tindakan yan terlarang dan yang diharuskan (Erdianto Effendi, 2014 : 73).
2. (Tiga) 3 Prinsip Asas Legalitas
Menurut Moeljatno, biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian.Pertama, tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
Kedua, Untuk menentukan adanya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
Ketiga, Aturan-aturan hukum
pidana tidak berlaku surut (Moeljatno, 1983 : 25).
3. Pengertian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Arti asas legalitas adalah suatu perbuatan barulah dapat dipidana apabila perbuatan tersebut sebelumnya telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Apabila perbuatan tersebut belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku maka pelaku tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.Dalam bahasa latin asas legalitas adalah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu ( Moeljatno, 1983 : 23).
Asas legalitas Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi "suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidan yang telah ada". Asas legalitas dalam KUHP ini menjadi landasan untuk dapat dipidanya suatu perbuatan yang telah dilakukan seseorang.
Jonkers menyatakan bahwa Pasal 1 ayat 1 KUHP, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang yang ada sebelum perbuatan dilakukan adalah suatu pasal tentang asas. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas tertuang secara eksplisit dalam undang-undang. Padahal, para ahli berpendapat, suatu asas hukum bukan merupakan peraturan hukum konkrit (Eddy O.S. Hiariej, 2016 : 70-71).
4. Makna yang Terkandung dalam Asas Legalitas
Makna dari asas legalitas terdapat perbedaan pandangan dari beberapa ahli hukum pidana berbeda definisi asas legalitas yang pada umumnya para ahli berpendapat sama.Enschede mengatakan ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana. Kedua, kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut.
Jan Remmelink mengatakan ada tiga hal makna yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, konsep perundang-undangan yang diandaikan dalam Pasal 1 KUHP. Kedua, undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat atau lex certa. Ketiga, perihal larangan analogi, asas legalitas melarangan ketentuan pidana secara analogi.
Groenhuijsen mengatakan ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur.
Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Demikianlah menurut para ahli mengenai makna dari asas legalitas tersebut (Eddy O.S. Hiariej, 2016 : 75).
5. Tujuan Asas Legalitas
Tujuan asas legalitas adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam hukum pidana. Asas legalitas bertujuan untuk adanya kepastian hukum mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang oleh hukum tertulis. Sehingga memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kesewenag-wenangan penguasa dalam menghukum seseorang.
Selain itu, asas legalitas juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakata terkait perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan. Sehingga, masyarakat tidak perlu cemas mengenai sewaktu-waktu akan dipidana karena perbuatannya.
6. Penerapan Asas Legalitas
Penerapan asas legalitas dalam hukum pidana termuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi "suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada".
Penerapan asas legalitas ini dapat dilihat melalaui rumusan-rumusan tindak pidana yang termuat dalam KUHP serta peraturan perundang-undangan lainnya yang memuat sanksi pidana. Apabila suatu perbuatan tidak dilarang oleh hukum pidana, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan asas legalitas. Demikanlan penerapan asas legalitas.
7. Kelemahan Asas Legalitas
Kelemahan asas legalitas adalah sifatnya yang tidak dinamis dan kaku. Karena sifatnya yang tidak dinamis dan kaku ini, bisa saja perbuatan yang bertentangan dengan masyarakat nanti tidak dapat dipidana. Apalagi masyarakat terus mengalami perkembangan, sehingga perlu hukum yang dapat mengikuti perkembangan masyarakat tersebut.
Kelemahan asas legalitas berikutnya adalah tidak diakomodirnya hukum adat. Seperti diketahui hukum ada juga memiliki sanksi sendiri atas perbuatan yang dilaranag. Namun, kerana hukum ada bersifat tidak tertulis maka dia tidak dapat diterapkan terhadap hukum pidana.
Post a Comment