A. Pengertian Hak Tanggungan
Pengertian hak tanggungan secara
yuridis terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
dinyatakan bahwa “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.[1]”
Objek
hak tanggungan diatur dalam Pasal 51 UUPA “Hak tanggungan yang dapat dibebankan
pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25,
33 dan 39 diatur dengan undang-undang.[2]”
Kemudian diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUHT “Hak atas tanah yang dapat dibebani
Hak Tanggungan adalah: a. hak milik, b. hak guna usaha dan c. hak guna bangunan
serta dalam ayat (2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak
Tanggungan.[3]”
Dalam
Pasal 8 ayat (1) UUHT mengatur tentang pemberi hak tanggungan yang berbunyi Pemberi Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pemberi hak
tanggungan biasa disebut sebagai debitor, yang mana debitor dijelaskan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUHT, Debitor adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan
utang-piutang tertentu. Kemudian pemegang hak tanggungan diatur dalam Pasal 9
UUHT yang menyatakan Pemegang Hak
Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai
pihak yang berpiutang. Pemegang hak tanggungan ini disebut sebagai kreditor
yang dalam Pasal 1 ayat (2) UUHT dijelaskan, Kreditor adalah pihak yang
berpiutang dalam satu hubungan utang-piutang tertentu.[4]
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah memiliki beberapa asas-asas untuk membedakan dengan
hak-hak tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UUHT yang baru ini. Berikut akan diuraikan beberapa asas
yang dimaksud.
1.Asas accessoir
Perjanjian
hak tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi
mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yang disebut perjanjian induk.
Perjanjian induk yang terdapat pada hak tanggungan adalah perjanjian
untang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti
perjanjian induk ini dalam terminologi hukum Belanda disebut perjanjian accessoir.[5]
2. Asas Tidak dapat dibagi-bagi
Pasal 2 UUHT, Hak tanggungan memilki
sifat yang tidak dapat dibagi-bagi,
kecuali jika diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2). Ketentuan yang juga memberikan kedudukan istimewa
kepada kreditor pemegang hak tanggungan adalah
sifat hak tanggungan yang tidak dapat dibagi-bagi, jika dibebankan atas lebih
dari satu obyek, seperti dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1). Hak tanggungan yang
bersangkutan membebani obyek-obyek tersebut masing-masing secara utuh. Jika
kreditnya dilunasi secara angsuran, hak tanggungan yang bersangkutan tetap
membebani setiap obyek untuk sisa utang yang belum dilunasi.[6]
3. Asas droit de suite
Pasal
7 UUHT, hak
Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut
berada. Artinya benda-benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap
terbeban hak tanggungan walau di tangan siapa pun benda itu berada.[7]
Ketentuan ini berarti, bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak
menjual lelang benda tersebut, biarpun
sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain.[8]
4. Asas Droit de preference
Pasal
1 UUHT, hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain. Droit
de preference adalah sifat khusus yang dimilki oleh hak kebendaan dalam bentuk
jaminan kebendaan.[9]
5. Asas Spesialitas
Dalam akta pemberian hak tanggungan
(APHT) selain nama, identitas dan domisili kreditor dan pemberi hak tanggungan,
wajib disebut juga secara jelas dan pasti piutang yang mana yang dijamin dan
jumlah atau nilai tanggungannya juga uraian yang jelas dan pasti mengenai
benda-benda yang ditunjuk menjadi objek hak tanggungan (lihat Pasal 11 UUHT).[10]
6. Asas Publisitas
Pasal
13 (1) UUHT, pemberian
hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Agar adanya hak
tanggungan tersebut, siapa kreditor pemegangnya, piutang yang mana dan bebrapa
jumlahnya yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan, dengan
mudah dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan, wajib dipenuhi apa
yang disebut syarat publisitas. Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan
dikantor pertanahan.[11]
7. Asas kreditur
separatis
Pasal 21 UUHT, Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit,
pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya
menurut ketentuan Undang-Undang ini. Ini berarti, bahwa obyek hak tanggungan
tidak termasuk dalam boedel kepailitan, sebelum kreditor mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan benda yang bersangkutan. Yang dinyatakan pailit
adalah pemberi hak tanggungan, yaitu pihak yang menunjuk harta kekayaannya
sebagai jaminan.[12]
B. Lahir dan Hapusnya Hak Tanggungan
Hak
tanggungan dinyatakan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Dengan demikian, hak
tanggungan itu lahir dan baru mengikat setelah dilakukan pendaftaran, karena
jika tidak dilakukan pendaftaran itu, pembebanan hak tanggungan tersebut tidak
diketahui oleh umum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak
ketiga.[13]
1. Pemberian hak tanggungan
Pasal 10 UUHT, ayat (1) Pemberian Hak
Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian
tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian
lain-nya yang menimbulkan utang tersebut. Ayat
(2) Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pem-buatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ayat (3) Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang
berasal dari konversi hak lama yang telah meme-nuhi syarat untuk didaftarkan
akan tetapi pendaftaran-nya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan
di-lakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan.
Pasal 11 UUHT, ayat (1) Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
wajib dicantumkan :
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantum kan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pem-berian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih.
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1).
d. nilai tanggungan.
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantum kan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pem-berian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih.
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1).
d. nilai tanggungan.
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
2. Pendaftaran hak tanggungan
Setelah pemberian hak tanggungan APHT
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib
mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain
yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Kantor Pertanahan dengan membuatkan
buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang
menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat
hak atas tanah yang bersangkutan. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah
tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan
bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah
yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya (lihat Pasal 13 UUHT
tahun 1996).
3. Peralihan hak tanggungan
Jika piutang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau
sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada
kreditor yang baru. Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana wajib didaftarkan
oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran beralihnya Hak
Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku tanah
Hak Tanggungan dan buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan
serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertipikat
hak atas tanah yang bersangkutan (lihat Pasal 16 UUHT tahun 1996).
4. Hapusnya hak tanggungan
Hak Tanggungan hapus karena hal-hal
sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.
b. dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.
c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.
b. dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.
c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
Hapusnya hak
tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian
pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh
pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan. Hapusnya hak tanggungan
karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban hak tanggungan. Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya
hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak menyebab-kan hapusnya utang
yang dijamin.[14]
5. Eksekusi hak tanggungan
Apabila
debitor cidera janji, obyek hak tanggungan oleh kreditor pemegang hak
tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kreditor pemegang hak tanggungan
berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya
yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut, dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor yang lain, inilah yang disebut eksekusi hak tanggungan, yang
diatur dalam Pasal 20.[15]
C. Sanksi Administrasi Atas Hak Tanggungan
Pasal 23 UUHT, Pejabat yang melanggar atau lalai dalam
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat
(1), Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang ini dan/atau
peraturan pelaksanaannya dapat dikenai sanksi administrative, berupa :
a. tegoran lisan.
b. tegoran tertulis.
c. pemberhentian sementara dari jabatan.
d. pemberhentian dari jabatan.
a. tegoran lisan.
b. tegoran tertulis.
c. pemberhentian sementara dari jabatan.
d. pemberhentian dari jabatan.
Pejabat yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (8) Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya dapat dikenai sanksi administrative sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi sanksi yang dapat dikenakan menurut peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.[16]
[1] Lihat Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
[2] Lihat Pasal 51 UUPA
[3] Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
[4] Lihat Pasal 1 ayat (2) ayat (3), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
[5] Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 177.
[6] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 417.
[7] Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm. 55.
[8] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 417.
[9] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 173.
[10] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 419.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 417.
[13] Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm. 79.
[14] Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
[15] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 454.
[16] Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996
Post a Comment