Teori Utilitarianisme (Kemanfaatan)

Teori utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greates happines theory)
Teori Utilitarianisme (Kemanfaatan)
Aksara Hukum - Teori utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greates happines theory).

Utilitarianisme atau utlism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang meletakan kemanfaatan di sini sebagai tujuan hukum. 

Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Aliran ini adalah aliran yang meletakan kemanfaatan sebagai tujuan hukum. 

Kemanfaatan dalam konteks ini diartikan sebagai kebahagian, jadi adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Pendukung utamanya adalah Jeremy Bentham dan  Rudolf von Jhering.

Teori ini sebetulnya bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang. 

Akibat-akibat positif yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan, merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya. Hukuman, sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terhukum telah terbukti bersalah melawan hukum, melainkan kerena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum, korban, dan juga orang-orang lain dalam masyarakat.

Etika utilitarian ialah penilai baik buruk tindakan manusia difondasikan pada soal berguna atau tidak berguna (“utile”). Berguna/tidak-berguna bagi siapa? Bagi kesejahteraan bersama. Skema utilitarianisme ialah “mengusahakan kebaikan sebanyak mungkin bagi komunitas” (John Stuart Mill). Dalam aktivitas hidup bersama, apa yang dikejar? Kesejahteraan. Kesejahteraan adalah bahasa lain dari kebahagiaan.

Teori utilitarianisme tentang hukuman mempunyai sejarah yang panjang sejak Plato. Dalam dialog Protagoras, Plato menulis, “dalam menghukum seseorang yang bersalah, kita tidak boleh mendasarkan hukuman atas fakta bahwa ia telah bertindak salah di masa lampau atau menghukumnya dengan rasa balas dendam yang buta seperti seekor binatang. Tidak. 

Hukuman tidak dfikenakan oleh manusia rasional demi kejahatan yang sudah dilakukan dan diakui (karena akhirnya tak seorang pun dapat membatalkan apa yang telah lewat), tetapi demi masa depan yaitu sebagai tindakan preventif bagi si terhukum dan orang-orang lain agar tidak lagi melakukakan kesalahan.

Menurut prinsip kemanfaatan, apabila suatu hukuman mau tak mau harus diterima, maka pelaksanaan hukuman tersebut harus menjanjikan bahwa kerugian atau ketidak-senangan yang lebih besar akan dihindarakan. Hukuman yang tidak menjanjikan konsekuensi-konsekuensi yang lebih baik, harus ditolak. Dasar pembenaran hukuman terletak pada efek-efeknya yang menguntungkan. 

Dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya di bidang hukum. 

Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian pun dengan perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut diatas. Jadinya, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.

Utilitarianisme menganggap pula hukuman sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terhukum. Kesalahan atau tindakan kejahatan menurut pandangan ini merupakan suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. 

Thomas Aquinas pun menganut paham yang kurang lebih sama. Menurutnya, hukuman tidak pernah diberikan demi hukuman itu sendiri. Setiap hukuman berfungsi mengobati (poena medicinalis) atau merehabilitasikan apa dan siapa yang sudah menjadi korban tindakan kejahatan. Selain itu, hukuman juga berfungsi melindungi masyarakat dari kejahatan.

Teori rehabilitasi juga menganggap kejahatan sebagai ekspresi penyakit sosial yang harus diobat seperti layaknya seorang dokter menangani penyakit-penyakit. Kejahatan itu dibaca pula sebagai simptom disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, counselling, latihan-latihan spiritual, dsb. 

Maka ciri khas dari pandangan tersebut ialah hukuman merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terhukum agar kembali berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya secara wajar.

Jeremy Bentham berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip ini perundang-undangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat. 

Dalam teori ini diajarkan hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh (Volwaardig), tidak seorang pun bernilai lebih (everybody to count for one, no bady for more than more than one).

Lebih lanjut Jeremy Bentham mengatakan bahwa hukum dan moral itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum mesti bermuatan moral dan moral mesti bermuatan hukum, mengingat moral itu merupakan salah satu sendi utama kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya. 

Hukum yang efesien dan efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah warga yang terbanyak.

Menurut Jeremy Bentham, agar prinsip ini (manfaat) berfungsi seperti seharusnya, artinya agar prinsip ini dapat menjadi landasan bagi suatu sistem penalaran, diperlukan tiga syarat:

  1. Meletakkan gagasan-gagasan yang jelas dan tepat pada kata manfaat, secara sama persis dengan semua orang yang menggunakannya.
  2. Menegakkan kesatuan dan kedaulatan prinsip ini, dengan secara tegas membedakannya dengan segala kesatuan dan kedaulatan lain. Prinsip ini tidak bisa dianut secara umum, tetapi harus diterima tanpa kecuali.
  3. Menemukan proses aritmetika moral yang dapat digunakan untuk mencapai hasil-hasil yang seragam.

Teori utilitarianisme tentang hukuman tidak langsung terbentuk dalam waktu singkat. Ia bertumbuh dalam proses menjadi dalam waktu yang amat panjang. Teori utilitarianisme tentang hukuman berproses dalam sejarah yang panjang sejak filsuf Plato. 

Plato (427-347 SM) merupakan pemikir klasik Yunani yang juga memberikan pemikiran-pemikiran konstruktif penting terkait politik, hukum dan negara. Malahan dapat dikatakan bahwa gagasan Plato ini bisa menjadi cikal bakal kemunculan utilitarianisme kelak.

The Greatest Happiness Theory dari Bentham yang menegaskan bahwa tujuan tertinggi setiap orang dalam kehidupan ini yakni memperoleh kebahagiaan. 

Kebahagiaan dan kesenangan yang diorbitkan Bentham tidak hanya merujuk pada konsekuensi-konsekuensi dari tindakan manusia secara subjektif (pribadi) tetapi juga berupa tindakan yang diputuskan oleh otoritas pemerintah atau pun kebijakan institusional hukum yang memiliki kewenangan mengatur dalam negara. 

Institusi dalam konteks ini tentu adalah lembaga hukum yang berkompeten memberikan vonis hukuman kepada seorang subjek terhukum (pengadilan).

Teori utilitas Bentham mengatakan bahwa hukuman dapat dibenarkan jika pelaksanaannya mengkristalkan dua efek utama yakni: 

Pertama, konsekuensi hukuman itu ialah mencegah agar di masa depan kejahatan terhukum tidak akan terulang lagi. 

Kedua, hukuman itu memberikan rasa puas bagi si korban maupun orang lain. Ciri khas hukuman ini bersifat preventif ke masa depan agar orang tidak lagi mengulangi perbuatannya dan pemenuhan rasa senang orang-orang yang terkait kasus hukum tersebut.

Bentham juga menggariskan tujuan sekunder hukuman yang terkait erat dengan probabilitas atau kemungkinan pelanggaran hukum di masa depan. Dalam konteks ini Bentham bicara tentang kepuasan hukum. Kepuasan melalui hukuman dapat digapai dalam dua (2) bentuk yakni: 

Pertama, kompensasi material dan kedua berupa pelampiasan atau pengekspresian rasa dendam. Walau jenis pertama sulit diterapkan pada semua kasus hukum, namun menurut Bentham, hukuman kompensasi material membawa banyak kesenangan bagi manusia. Uang erupakan kompensasi yang jitu terhadap banyak kejahatan. 

Bentham mengategorikan bahwa uang hanya mungkin untuk kasus pencurian dan perampokan, namun tidak bisa diterapkan untuk kasus delik kriminal seperti pembunuhan dan pemerkosaan. Hukuman sewajarnya pada si terhukum mengakibatkan rasa sakit pada subjek terhukum dan ini menjadi media penyaluran emosi negative si korban kejahatan dan keluarganya. Hukuman dapat memberikan rasa senang kepada si korban dan orang-orang lain yang terlibat dalam suatu kasus.

Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. 

Bagi Jhering, tujuan hukum adalah umtuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang kepentingan-kepentingan orang lain.

contoh utilitarianisme dalam hukum adalah ketika seorang hakim menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana, hakim harus menilai apakah hukuman yang diberikan akan memberikan manfaat yang banyak atau justru hukuman tersebut akan menimbulkan kerugian yang lebih buruk. 

Contoh berikutnya, seorang Jaksa yang menghentikan penuntutan demi kepentingan umum. Apabila jaksa melanjtukan tuntutannya, maka akan terjadi huru hara yang lebih buruk akibat seseorang yang dituntut merupakan orang yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat.

Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilakan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.


Referensi :
1. Amaran Suadi, Filsafat Hukum Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan Etika, Prenadamedia Group, Jakarta: 2020.
2. Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1997.
Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia,  PT Kanisius, Yohyakarta: 2017
3. Lili Rasjidi, Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung: 2016.
4. Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1997.
5. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2013.
6. Jeremy Bentham, Teori Perundang Undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, (Terjemahan Nurhadi), Penerbit Nuansa Cendikia, Bandung: 2016.
7. Frederikus Fios, “Keadilan Hukum Jeremy Bentham Dan Relevansinya Bagi Praktik Hukum Kontemporer”, Humaniora, Bina Nusantara University, Vol. 3 No. 1 April 2012.
8. Arfin Leonarda Sambas K., Teori-Teori Hukum Klasik & Kontemporer, Ghalia Indonesia, Bogor: 2016.
9. H.R. Otje Salman S., Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), PT Refika Aditama, Bandung: 2016.

Post a Comment