Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi terdiri atas asas persidangan terbuka untuk umum, asas independen dan imparsial, asas peradilan dilaksanaka

Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


Aksara Hukum - Asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi  terdiri atas asas persidangan terbuka untuk umum, asas independen dan imparsial, asas peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya murah, asas hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem), asas hakim aktif dan juga pasif dalam proses persidangan, asas ius curia novit, dan asas praduga keabsahan (praesumtio iustae causa).

Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang bersifat umum yang menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan. Asas di satu sisi dapat disebut sebagai landasan atau alasan pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-cita sosial yang ingin diwujudkan. 

Asas hukum merupakan jantung yang menghubungkan antara aturan hukum dengan cita-cita dan pandangan masyarakat di mana hukum itu berlaku (asas hukum objektif). Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif (asas hukum subjektif).

Berikut asas-asas dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi:

1. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum

Persidangan terbuka untuk umumnya sesungguhnya merupakan asas yang juga terdapat dalam peradilan lainnya selain mahkamah konstitusi. Dalam Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan bahwa sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Ketentuan ini juga berlaku terhadap peradilan di Mahkamah Konstitusi.

Pasal 40 ayat (10 UU Mahkamah Konstitusi, merumuskan secara khusus bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang di terbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, mengatakan bahwa persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan objektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim.

Menurut Maruarar Siahaan, keterbukaan sidang ini merupakan salah atu bentuk social control  dan juga bentuk akuntabilitas hakim. Transparansi dan akses publik secara luas yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dengan membuka, bukan hanya sidang tetapi juga proses persidangan yang dapat dilihat atau dibaca melalui transkripsi, berita acara, dan putusan yang dipublikasikan melalui situs internet. Hal ini langkah jauh yang diambil untuk mengefektifkan kontrol terhadap Mahakamah Konstitusi.’

2. Asas Independen dan Imparsial

Asas Independen termuat dalam Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Independen berarti hakim dalam menjalankan tugasnya harus mandiri tidak boleh ada intervensi dari pihak lain, serta imparasial berarti hakim tidak boleh memihak siapa pun agar terciptanya pengadilan yang adil.

Menurut Maruarar Siahaan, Independensi dan Imparsialitas merupakan konsep yang mengalir dari doktrin separations of powers (pemisahan kekuasaan) yang harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi.

Dalam buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang di terbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, mengatakan bahwa Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal.

Dalam dimensi fungsional mengandung pengertian larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. 

Kemudian, dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim.

Selanjutnya, dari sisi struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak. 

Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban, dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku.

3. Asas Peradilan dilaksanakan secara Cepat, Sederhana, dan Biaya Murah

Asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang salanjutnya adalah asas peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya urah. Menurut buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang di terbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan.

Asas peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya murah terdapay dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun  2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Menurut Maruarar Siahaan, biaya perkara yang dibebankan  pada pemohon atau termohon tidak dikenal dalam acara Mahkamah Konstitusi. Semua biaya yang menyangkut pesidangan di Mahkamah Konstitusi dibebankan pada biaya negara.

Buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang di terbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI mengatakan, dalam proses pembahasan UU Mahkamah Konstitusi, pada awalnya terdapat ketentuan tentang biaya perkara. Namun dalam perkembangannya ketentuan tersebut dihilangkan sehingga dapat dimaknai bahwa maksud dari pembentuk undang-undang adalah memang menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan MK. 

Hal inilah yang menjadi salah satu dasar keputusan hakim konstitusi untuk menghilangkan biaya perkara dalam peradilan MK. Dengan demikian salah satu prinsip peradilan MK yang lebih tepat adalah Cepat, Sederhana dan Bebas Biaya.

4. Asas Hak Untuk Didengar secara seimbang (Audi et Alteram Partem)

Pada pengadilan biasa, para pihak mempunyai hak untuk didengar secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan Mahkamah Konstitusi tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai termohon.

Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan. 

Dalam perkara pengujian undang-undang, selain pemohon pihak terkait langsung yaitu DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang juga mempunyai hak untuk didengar keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang berkepentingan secara tidak langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji juga diberi kesempatan untuk menyampaikan keterangannya. 

Misalnya, pada saat pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU akan diberikan hak menyampaikan keterangan. Demikian pula pada saat UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diuji, maka organisasi advokat dapat memberikan keterangan.

Demikian pula halnya dalam perkara konstitusi yang di dalamnya terhadap pihak yang saling berhadapan, misalnya PHPU, hak menyampaikan keterangan tidak hanya diberikan kepada pemohon (peserta Pemilu) dan termohon (KPU), tetapi juga kepada pihak terkait yang berkepentingan, yaitu peserta Pemilu lain yang walaupun tidak ikut berperkara tetapi berkepentingan dengan putusan atas perkara dimaksud. 

Untuk menjadi pihak terkait dan memberikan keterangan dalam persidangan konstitusi, dapat dilakukan dengan mengajukan diri sebagai pihak terkait, atau atas undangan MK.

5. Asas Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan

Menurut Maruarar Siahaan, asas hakim aktif dan juga pasif dalam proses persidangan sesungguhnya dapat dilihat sebagai paradoksal, karena sikap pasif sekaligus aktif harus dianut hakim. Tetapi, adanya karakteristik khusus perkara konstitusi yang kental dengan kepentingan umum  ketimbang perorangan menyebabkan proses persidangan tidak dapat diserahkan selalu kepada inisiatif pihak-pihak.

Mekanisme constitutional control harus digerakkan dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim  bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme  Mahkamah  Konstitusi memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan.

Dengan demikian, sekali permohonan tersebut didaftar dan mulai diperiksa, untuk kepentingan umum yang termuat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses persidangan dan tidak mengantungkan proses hanya pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukt yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal yang diajukan dalam permohonan tersebut.

6. Asas Ius Curia Novit

Asas ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 10 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Asas ini berlaku dalam peradilan MK sepanjang masih dalam batas wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang dengan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, MK harus menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus.

7. Asas Praduga Keabsahan (Praesumtio Iustae Causa)

Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh. 

Untuk menyatakan tidak sah tindakan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan pengujian terhadap tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang dalam proses pengujian.

Perwujudan dari asas ini dalam wewenang Mahkamah Konstitusi dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. 

Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan perselisihan tentang hasil Pemilu. 

Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945) sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian, tindakan termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya.

Demikianlah pembahasan menganai asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang pada umumnya asas-asas yang terdapat dalam Pengadilan Mahkamah Konstitusi sama dengan Pengadilan pada umumnya.

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
  3. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
  4. Maruarar Siahaan, 2012, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Post a Comment