Asas-Asas Hukum Pidana |
Asas-Asas Hukum Pidana
Apa itu asas hukum?
Asas hukum merupakan jantungnya hukum, oleh sebab itu asas hukum sangat
penting dalam merumuskan suatu peraturan perundang-udangan.
Asas-asas hukum pidana termuat dalam Buku Kesatu tentang Aturan Umum KUHP .
Adapun asas asas hukum pidana di indonesia terdiri dari:
- Asas Legalitas
- Asas Non-Retroaktif (Larangan Berlaku Surut)
- Asas Larangan Menggunakan Analogi
- Asas Ketentuan yang Menguntungkan Bagi Tersangka
- Asas Teritorial
- Asas Nasional Aktif (Personalitas)
- Asas Nasional Pasif (Perlindungan)
- Asas Universalitas
Berikut penjelasan dari masing-masing asas-asas hukum pidana seperti yang
dikemukan di atas.
1. Asas Legalitas
Asas ini terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Asas legalitas adalah suatu
asas yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
perbuatan tersebut telah diatur melalui ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Asas legalitas dalam bahasa latin disebut sebagai “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” artinya tidak ada delik, tiada pidana tanpa terlebih dahulu diadakan
ketentuan hukum pidana.
Asas legalitas bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam menegakkan
ketentuan hukum pidana. Sehingga, para aparat penegak hukum tidak
sewenang-wenag menghukum seseorang yang berbuat jahat tanpa adanya rumusan
perbuatan pidana terlebih dahulu yang termuat dalam undang-undang pidana.
Sebagaimana disebutkan Moljatno, asas legalitas mengandung tiga pengertian
yaitu:
- tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
- untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
- aturan-aturam hukum pidana tidak berlaku surut (non-retroaktif).
Untuk pembahasan lebih lanjut silahkan baca :
Pembahasan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
2. Asas Non-Retroaktif (Larangan Berlaku Surut)
Asas non-retroaktif atau asas larangan berlaku surut juga termuat dalam Pasal
1 ayat (1) KUHP. Asas non-rotroaktifk dan asas legalitas sebanarnya saling
berkaitan satu sama lain, dimana kedua asas ini bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepastian hukum kepada masyarakat.
Asas legalitas adalah landasan dari asas non-retroaktif. Asas legalitas
menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuan hukum pidana. Sementara itu, asas non-retroaktif adalah suatu asas
yang melarang berlaku surut atau berlaku mundur suatu undang-undang pidana
untuk menghukum suatu perbuatan yang tidak di atur dalam ketentuan hukum
pidana.
Menurut Erdianto, tujuan asas non-retroaktif sebenarnya sangat mulia, yaitu
jangan sampai seseorang melakukan suatu perbuatan, lalu karena orang tersebut
tidak disukai, maka dibuat undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu
dapat dipidana.
Namun demikian, penyimpangan dari asas non-retroaktif pernah terjadi saat
terjadinya serangan teroris di Bali. Akibat tidak adanya aturan hukum pidana
terkait tindak pidana terorisme, maka melalui Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, para pelaku terorisme di Bali tersebut
dihukum melalui undang-undang ini.
Pembahasan lebih lanjut silahkan baca:
Asas Non Retrokatif
3. Asas Larangan Menggunakan Analogi
Asas ini juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas larangan
menggunakan analogi juga berkaitan dengan asas legalitas. Analogi ialah
memperluas cakupan atau pengertian dari ketentuan undang-undang. Analogi
berarti menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang mirip.
Hal yang pernah terjadi dalam praktik hukum Indonesia yaitu putusan Hakim
Agung Bismar Siregar yang menyamakan persetubuhan bujang dengan gadis sebagai
pencurian. Bismar Siregar menganggap kegadisan (keperawanan) sama dengan
barang sebagaimana dimaksud dalam KUHP, yaitu segala sesuatu yang mengandung
nilai ekonomis. Putusan tersebut banyak dikecam oleh hakim dan pengamat hukum
ketika itu.
4. Asas Ketentuan yang Menguntungkan Bagi Tersangka
Asas ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Asas ini adalah suatu asas yang
memberlakukan ketentuan pidana yang paling menguntungkan bagi terdakwa bila
ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan di lakukan.
Misalnya, seorang pencuri tertangkap pada saat sebelumnya ada perubahan KUHP,
maka para aparat penegak hukum memilih ketentuan yang paling menguntungkan
bagi pencuri tersebut, yaitu apakah KUHP sebelum perubahan atau KUHP setelah
perubahan.
5. Asas Teritorial
Asas teritorial termuat dalam Pasal 2 KUHP. Asas teritorial adalah suatu asas
yang menyatakan bahwa suatu ketentuan hukum pidana berlaku bagi setiap orang
yang melakukan tindak pidana di wilayah negara yang bersangkutan.
Jadi, KUHP Indonesia berlaku bagi setiap WNI atau WNA yang melakukan tindak
pidana di wilayah Indonesia.
Baca Juga :
Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
6. Asas Nasional Aktif (Personalitas)
Asas ini termuat dalam Pasal 5 KUHP. Asas nasional aktif adalah asas
yang memberlakukan hukum pidana Indonesia kepada warga negara Indonesia yang
melakukan tindak pidana di luar negeri. Hal ini dapat dilakukan apabila telah
ada perjanjian ekstradisi antara kedua belah pihak (Indonesia dan negara tempa
tindak pidana). Apabila tidak ada perjanjian ekstradisi, maka hal ini sulit
untuk dilakukan.
Menurut Erdianto, asas ini merupakan kebalikan dari asas teritorial. Jika
dalam asas teritorial yang dilindungi siapa pun dalam wilayah Indonesia,
dalam asas personalitas yang ingin dilindungi adalah warga negara (Indonesia)
di mana pun ia berada. Namun, perlindungan yang dimaksud bukan perlindungan
atas warga negara atas ancaman kejahatan, akan tetapi perlindungan dalam
bentuk pemberlakuan hukum pidana Indonesia bagi si warga negara, karena jika
ia melakukan suatu tindak pidana di luar Indonesia, maka secar filosofis
adalah tidak adil jika ia diadili dengan hukum pidana negara tersebut karena
sebelumnya ia mungkin tidak mengetahui adanya ketentuan pidana di negara asing
tersebut atau kalaupun itu juga merupakan perbuatan yang sama-sama dilarang di
negara asal, mungkin saja pidana di negara asing tersebut jauh lebih berat.
Karena itu, demi keadilan seseorang warga negara Indonesia yang melakukan
tindak pidana di luar Indonesia sebaiknya di adili di Indonesia menurut sistem
hukum Indonesia.
7. Asas Nasional Pasif (Perlindungan)
Asas ini terdapat dalam Pasal 4 KUHP. Asas nasional pasif adalah asas yang
memberlakukan hukum pidana Indonesia bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana tertentu di luar Indonesia.
Tindak tertentu tersbut adalah seperti:
- salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131.
- suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
- pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu;
- salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf
8. Asas Universalitas
Asas universalitas artinya adalah hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa
pun dan di wilayah negara mana pun. Hal ini memang tidak ditegaskan dalam KUHP
Indonesia. Namun, asas universalitas ini dapat terlihat dalam ketentuan Pasal
4 ayat (4) KUHP. Di mana kejahatan yang berhubungan dengan pembajakan di
laut tidak peduli di atas kapal Indonesia atau bukan dapat dituntut menurut
hukum pidana Indonesia.
Asas universalitas adalah manifestasi dari pendirian, bahwa tiap-tiap negara
berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata-hukum sedunia, demikian dikatakan
oleh v. Hattum sebagaimana dikutip oleh Moeljatno.
Baca Juga :
Pembagian Hukum Pidana
Referensi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Erdianto Effendi, 2014, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung.
- Moeljatno, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Post a Comment