Hukum Kejahatan Laut dan Peradilan Perikanan

Sejak diratifikasinya United Nation Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 merupakan tonggak perjuan

Hukum Kejahatan Laut dan Peradilan Perikanan
Hukum Kejahatan Laut dan Peradilan Perikanan

PERKEMBANGAN HUKUM LAUT

Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan pernyataan yangg dikenal dengan  Deklarasi H. Djuanda. Dalam praktek ketatanegaraannya telah memberlakukan ketentuan selebar 12 mil laut.

Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak dari negara Republik Indonesia.

Dalam perkembangannya Deklarasi Djuanda dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) mengingat secara mendesak dan secepatnya agar mendapatkan pengakuan serta kekuatan hukum yang pasti, mempunyai kedudukan hukum  yang sejajar dengan Undang-undang, kemudian pada tahun 1960 ditingkatkan dalam bentuk UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia.

Perkembangan Hukum Perikanan di Indonesia

Sejak diratifikasinya United Nation Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 merupakan tonggak perjuangan  Negara RI dalam memiliki hak untuk memanfaatkan,  konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar Internasional yang berlaku.

Dengan bertambahnya luas perairan dan kejelasan mengenai batas penangkapan ikan dan kejelasan jalur kapal yang berlayar melewati Indonesia, akan membuat nelayan semakin mudah dan leluasa menangkap ikan.

  1. Diratifikasinya UNCLOS 1982 melalui UU Nomor 17  Tahun1985 
  2. Tahun 1983 produksi perikanan terus meningkat, sebagian besar hasil perikanan dihasilkan oleh nelayan tradisional
  3. Lahirnya Departemen Eksplorasi Laut dengan Keppres 136/1999 
  4. Kemudian menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan 
  5. Pada tahun 2004 lahirlah UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 
  6. Tahun 2009  terbentuk UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan

Ruang Lingkup Hukum Laut dan Perikanan Pasal 4 Undang-undang No.  31 Tahun 2004:

  1. Setiap orang, baik warga negara indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum indonesia maupun badan hukum asing
  2. Setiap kapal perikanan berbendera indonesia dan kapal perikanan berbendera asing
  3. Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
  4. Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan,  baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerjasama dengan pihak asing.

Peraturan-Peraturan di Bidang Hukum Laut dan Perikanan

Peraturan-peraturan yang berasal  dari zaman penjajahan      

  1. Ordonansi Perikanan Mutiara dan Bunga Karang (1916)
  2. Ordonansi perikanan untuk melindungi ikan (1920)
  3. Ordonansi penangkapan ikan pantai (1927)
  4. Ordonansi perburuan ikan paus (1927)
  5. Peraturan pendaftaran kapal-kapal nelayan laut asing (1938)
  6. Ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim (1939)

Undang-undang tentang Laut Indonesia

1. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Penarikan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

  • Diatur dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
  • Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
  • Peraturan Pemerintah  No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. 

2. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Hak  Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan (ALKI)

  • Diatur dalam Pasal 19 Undang-undang No. 6 Tahun 1996. 
  • Dalam pasal ini ditetapkan bahwa Pemerintah menentukan alur-alur laut termasuk rute penerbangan di atasnya yang cocok digunakan untuk pelaksanaan lintas alur laut kepulauan tersebut dengan menentukan  sumbu-sumbunya yang di cantumkan pada peta-peta laut yang diumumkan.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 UU No. 6 Tahun 1996, dikeluarkan PP No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas  Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. 

Dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 2002, dinyatakan bahwa kapal dan pesawat udara asing dapat melakukan hak lintas alur laut kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut lepas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.

Menurut Pasal 11 bahwa terdapat 3 alur laut kepulauan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan.

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda.

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II,  melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat makassar, Laut Flores dan selat Lombok.

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III, dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari Samudera lain ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Selat Ombai dan Laut Sawu.

3. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Hak Lintas Damai Melalui Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan Indonesia

  • Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 6 Tahun 1996 menyatakan bahwa kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan.
  • Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 tersebut, pada tanggal 28 Juni 2002 pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. 

Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan bidang Perikanan

  1. Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia 
  2. Undang-undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara 
  3. Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) 
  4. Undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran 
  5. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) 

PENGELOLAAN PERIKANAN

Pengertian Pengelolaan Perikanan

Perbuatan yang mengurus, menyelenggarakan, maupun mengendalikan suatu kegiatan agar objeknya memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Perikanan adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan penangkapan, pemeliharaan  dan pembudidayaan ikan. 

Adapun pengertian  pengelolaan perikanan yang ada dalam Undang-undang  Perikanan terdapat dalam Pasal 1 angka 7 adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan  informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya  ikan  dan  implementasi  serta penegakan hukum  dari peraturan  perundang-undangan  di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Asas-asas dalam pengelolaan perikanan

  1. Asas Manfaat
  2. Asas Keadilan
  3. Asas Kebersamaan
  4. Asas Kemitraan
  5. Asas Kemandirian
  6. Asas Pemerataan
  7. Asas Keterpaduan
  8. Asas Keterbukaan
  9. Asas Efisiensi
  10. Asas Kelestarian
  11. Asas Pembangunan yang berkelanjutan.

Sistem yang berlaku dalam pengelolaan perikanan

  1. Sistem bisnis perikanan
  2. Sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.

Sistem bisnis perikanan

  1. Diatur pada Pasal 1 angka 1 UU Perikanan.
  2. Sistem bisnis perikanan adalah sistem yang diterapkan pada pengelolaan perikanan yang berorientasi pada bisnis atau mencari keuntungan.
  3. Oleh karena itu, kegiatan yang dilakukan di bidang perikanan mulai dari penanaman modal, pembelian peralatan, penangkapan dan  pengangkutan  ikan, pengolahan  sampai dengan  pemasaran produknya untuk mendapatkan keuntungan.

Sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan

Sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan diatur  dalam  Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 UU Perikanan, yang menitikberatkan kualitas hasil perikanan dalam hubungannya dengan kesehatan  karena pada akhirnya hasil perikanan  akan  dikonsumsi  oleh masyarakat. Tujuannya agar hasil perikanan tidak membahayakan atau mengakibatkan  terganggunya kesehatan  masyarakat. Dalam sistem ini menghendaki dilakukannya pengawasan proses produksi  dari awal hingga akhir  agar mutu hasil perikanan dijamin dengan baik dan produknya dijamin keamanannya untuk dikonsumsi.

Perizinan di bidang perikanan

1. Izin Lingkungan

Izin  lingkungan bersifat umum karena wajib dimiliki oleh setiap perusahaan yang beroperasi di Indonesia.  Izin tersebut diatur dalam Pasal 36 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009

Kedudukan izin lingkungan merupakan dasar untuk memperoleh izin usaha perusahaan (dasar hukum pasal  40 ayat (1)  UU No. 32 Tahun 2009) 

2. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)

Dasar hukumnya adalah Pasal 26  Ayat  (1) UU Perikanan.  Dalam UU Perikanan SIUP adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan  perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam  izin tersebut (Pasal 1 angka 16).  Adapun pejabat yang berwenang mengeluarkan SIUP yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan RI, yang kemudian memberi wewenang kepada Dirjen Perikanan Tangkap, Gubernur dan Bupati.

3. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)

SIPI  merupakan izin  tertulis  yang harus dimiliki  setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SIUP.  Perusahaan yang memiliki SIPI sudah dapat dipastikan  memiliki SIUP, karena pembuatan  SIPI didasarkan atas adanya SIUP. 

3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI)

SIKPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk digunakan melakukan pengangkutan ikan. Pengusaha yang hanya memiliki dua surat izin tersebut hanya dapat mengoperasikan kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan dan karena tidak memiliki SIKPI konsekuensinya kapal tersebut tidak dapat mengangkut hasil tangkapannya diwilayah pengelolaan perikanan, sehingga akan menghadapi masalah hendak dikemanakan hasil tangkapannya.

Pendaftaran Kapal Perikanan

Dasar Hukumnya UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU No. 45 Tahun 2009 jo UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Bagi kapal yang tidak dilakukan pendaftaran, tidak mempunyai bukti kepemilikan kapal, karena gros akta pendaftaran kapal juga mempunyai fungsi sebagai bukti kepemilikan kapal. 

Sebagai tindak lanjut telah dibentuk peraturan pelaksanaannya yaitu Permen KP No. PER. 27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan. 

Pendaftaran kapal perikanan diarahkan untuk “teridentifikasi dan terdaftarnya kapal perikanan nasional yang beroperasi di perairan Indonesia”.

Buku kapal perikanan

Buku kapal perikanan adalah buku yang memuat informasi hasil pendaftaran kapal perikanan, yang berisi data kapal perikanan dan identitas pemilik kapal serta perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fisik dan dokumen kapal perikanan.

Pelabuhan Perikanan

Berdasarkan  Pasal 1 angka 23 UU Perikanan, pelabuhan perikanan adalah yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai  tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

Pungutan Perikanan

Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 22/Men/2004 disebutkan bahwa pungutan perikanan adalah pungutan negara atas hak pengusahaan dan atau pemanfaatan sumber daya ikan yang harus dibayar kepada pemerintah oleh perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha perikanan atau oleh perusahaan perikanan asing yang melakukan usaha penangkapan ikan. 

Pungutan perikanan tidak termasuk pungutan di bidang pajak, hal ini ditegaskan dalam Pasal 48 Ayat (2) UU Perikanan, bahwa pungutan perikanan kedudukannya bukan sebagai pajak. Hasil dari pungutan perikanan memang disetor ke kas negara dan dimasukkan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). 

Negara menarik pungutan perikanan, tujuannya adalah digunakan untuk pembangunan perikanan serta konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya (Pasal 50 UU Perikanan). 

Pengawasan Perikanan

Personel pengawas perikanan direkrut  dari  Pegawai Negeri Sipil di lingkungan  Kementerian  Kelautan  dan Perikanan (Pasal  66A Ayat (1) UU Perikanan), dengan dasar pemikiran selaku pegawai  di lembaga tersebut mempunyai latar belakang pengetahuan perikanan.

HUKUM PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

Ketentuan pidana di bidang perikanan diatur secara khusus  di dalam UU Perikanan, yakni terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 104.

Macam-macam Tindak Pidana Perikanan

Tindak pidana  di bidang perikanan yang diatur di dalam  UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 ada dua macam delik, yaitu:

1. Delik kejahatan (misdrijven) dan

2. Delik pelanggaran (overtredingen).

Tindak pidana  di bidang perikanan yang termasuk delik kejahatan diatur dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92 dan Pasal 94, serta Pasal 100 A dan Pasal  100 B.

Delik pelanggaran diatur dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100 dan Psal 100 C.     

Jenis dan Sifat Hukuman Pidana Perikanan

Untuk jenis hukuman pidana di bidang perikanan hanya mengenal pidana pokok, sedangkan pidana tambahan  tidak diatur  didalam  UU Perikanan.

Mengenai pidana pokok yang dapat dijatuhkan  hakim dalam  perkara perikanan berupa pidana penjara dan pidana denda.

Hukuman pidana di bidang perikanan sebagian besar bersifat kumulatif, baik ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Dalam hukuman kumulatif pidana badan  (penjara) dengan pidana denda diterapkan sekaligus. 

Disini tidak ada alasan  bagi hakim untuk tidak menjatuhkan  kedua pidana tersebut, juga hakim tidak dapat memilih salah satu hukuman  untuk dijatuhkan, melainkan wajib menjatuhkan pidana pokok kedua-duanya.

Penggolonagan tindak pidana perikanan

  1. Tindak pidana yang menyangkut penggunaan bahan yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan/ lingkungannya. 
  2. Tindak pidana sengaja mengunakan alat penangkap ikan yang mengganggu dan merusak sumber daya ikan di kapal perikanan.
  3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran/kerusakan sumber daya ikan/lingkungannya.
  4. Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan
  5. Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah.
  6. Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang merugikan masyarakat.
  7. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengolahan ikan yang kurang/tidak memenuhi syarat.
  8. Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan/pengeluaran hasil perikanan dari/ke wilayah negara RI tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan.
  9. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang membahayakan manusia dalam melaksanakan pengolahan ikan.
  10. Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan tanpa SIUP.
  11. Tindak pidana melakukan penangkapan ikan  tanpa memiliki SIPI.
  12. Tindak pidana melakukan pengangkutan ikan tanpa memiliki SIKPI.
  13. Tindak pidana memalsukan SIUP, SIPI dan SIKPI.
  14. Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal perikanan tanpa izin
  15. Tindak pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan
  16. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan asing.
  17. Tindak pidana tanpa memiliki surat persetujuan berlayar.
  18. Tindak pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah.
  19. Tindak pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan UU Perikanan.
  20. Tindak pidana yang dilakukan oleh nelayan/pembudidaya ikan kecil.
  21. Tindak pidana melanggar kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang dilakukan oleh nelayan/pembudidaya ikan kecil. 

Tindak Pidana yang Dilakukan Korporasi

  1. Dalam tindak pidana di bidang perikanan yang dapat menjadi pelakunya adalah orang maupun korporasi.
  2. Pengakuan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perikanan berupa korporasi terdapat pada Pasal 101 UU Perikanan.
  3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95 dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan korporasi sasaran pidananya hanya ditujukan kepada pengurusnya saja, sedangkan terhadap korporasinya tidak dapat dijatuhi hukuman.

Tindak Pidana Illegal Fishing di Wilayah Perairan Indonesia

Pengertian Illegal Fishing

Illegal Fishing berasal dari kata illegal yang berarti tidak sah atau tidak resmi. Fishing merupakan kata benda yang berarti perikanan. Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, memberi batasan pada istilah illegal fishing, yaitu pengertian illegal, unreported dan unregulated (IUU) fishing yang secara harfiah dapat diartikan sbg kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.

Bentuk Tindak Pidana Illegal Fishing di wilayah Perairan Indonesia

Secara umum dapat diidentifikasi menjadi 4 golongan yang merupakan illegal fishing yang umum terjadi di Indonesia, yaitu:

  1. Penangkapan ikan tanpa izin
  2. Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu
  3. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang
  4. Penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin.

Unreported fishing, yaitu kegiatan penangkapan ikan yang:

1. Tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional.

2. Dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar dan tidak sesuai dg prosedur pelaporan dari organisasi tersebut.

Kegiatan Unreported fishing yang umum terjadi di Indonesia:

1. Penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya atau pemalsuan data tangkapan.

2. Penangkapan ikan yang langsung dibawa kenegara lain (transhipment di tengah laut).

Unregulated fishing, yaitu kegiatan penangkapan ikan:

1. Pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan, dalam hal ini kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggungjawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai hukum internasional.

2. Pada area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan regional yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan atau yang mengibarkan bendera suatu negara yang tidak menjadi anggota organisasi tsb, hal ini dilakukan dg cara yang tidak sesuai atau bertentangan dg ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tsb.

Kegiatan unregulated fishing di perairan Indonesia, antara lain masih belum diaturnya:

1. Mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan penangkapan ikan yang ada.

2. Wilayah perairan yang diperbolehkan dan dilarang

3. Pengaturan aktivitas sport fishing, kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang.

HUKUM ACARA PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

Hukum acara pidana diatur secara khusus dalam Undang-undang No. 45 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Sepanjang belum diatur di dalam UU Perikanan masih tetap berlaku peraturan umum yang ada di dalam KUHAP.

Barang Sitaan dan Barang Bukti

Ketentuan yang mengatur tentang penyitaan diatur dalam Pasal 38 sampai Pasal 46 KUHAP. Sedangkan dalam UU Perikanan diatur dalam Pasal 76 A, Pasal 76 B, dan Pasal 76 C.

1. Suatu barang dapat dilakukan penyitaan, ketika perkara pidananya berada dalam tingkat penyidikan, karena penyitaan merupakan salah satu tindakan dalam rangka penyidikan.

2. Oleh karena itu, kewenangan penyitaan berada ditangan penyidik.

3. Untuk dapat melakukan penyitaan prosedurnya harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pasal 38 Ayat (1) KUHAP). 

Penyitaan terhadap barang tidak bergerak

1. TANAH

Penyidik memberitahu kepada kantor pertanahan bahwa telah melakukan penyitaan terhadap sebidang tanah dengan memberikan salinan berita acara penyitaan sebagai buktinya. 

Pemberitahuan tersebut dimaksudkan untuk menghindari agar tanah yang telah disita tidak dijual atau dipindahtangankan pemiliknya kepada orang lain, kantor pertanahan dapat mencegah untuk tidak membaliknamakan sertifikat tanah tersebut.

2. KAPAL

Penyitaan kapal yang digunakan untuk perkara pidana, walaupun tidak diatur dalam undang-undang namun demi keamanannya, penyidik perlu memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dalam hal ini pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal yang keberadaannya dibawah Kementerian  Perhubungan RI, untuk mencegah jangan sampai terjadi penjualan kapal yang telah disita.

Barang sitaan yang cepat rusak dapat dilelang

Barang hasil sitaan dalam perkara pidana di bidang perikanan yang sifatnya cepat rusak dapat dilakukan pelelangan sebelum perkaranya sampai ke pengadilan sebagaimana ditentukan pada Pasal 76B UU Perikanan.

Penyidikan

Perkara pidana dibidang perikanan dalam tingkat penyidikan ditangani oleh penyidik khusus yang disebut dengan penyidik perikanan. Penyidik perikanan sesuai dengan UU Perikanan ada tiga macam yaitu Penyidik PNS, penyidik TNI AL dan penyidik Polri (Pasal 73 Ayat (1) UU Perikanan).

Penyidikan di ZEEI

Pelanggaran-pelanggaran terhadap UU Perikanan yang terjadi di ZEEI, berdasarkan Pasal 73 Ayat (2) UU Perikanan bahwa pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik TNI AL dan penyidik PNS.

Penyidikan di pelabuhan perikanan

Pelanggaran yang terjadi di pelabuhan perikanan, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik PNS (Pasal 73 Ayat (3) UU Perikanan). Dengan aturan tersebut penyidik perikanan lain yaitu penyidik Polri atau penyidik TNI AL yang kebetulan sedang berada di pelabuhan perikanan dan mengetahui ada kejadian tindak pidana di bidang perikanan dapat menginformasikan kepada penyidik PNS untuk segera ditindaklanjuti.

Penahanan untuk penyidikan

1. Penahanan tersangka

Kewenangan penyidik perikanan untuk menahan tersangka tidak dapat dilepaskan dari syarat-syarat penahanan yang ditentukan dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup bahwa tersangka adalah orang yang diduga keras melakukan tindak pidana. 

Untuk kepentingan proses penyidikan perkara, penyidik perikanan mempunyai waktu penahanan terhadap tersangka paling lama 20 hari, apabila masih diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan penahanan dapat diperpanjang selama 10 hari. Perpanjangan penahanan diajukan kepada penuntut umum. Jadi waktu penahanan bagi penyidik maksimal 30 hari.

2. Penahanan kapal perikanan

Penyidik perikanan juga berwenang menahan kapal perikanan. Kewenangan menahan kapal diatur dalam Pasal 73A huruf e UU Perikanan.  Penyidik perikanan berdasarkan ketentuan tersebut tidak dimungkinkan untuk menahan kapal yang bukan kapal perikanan, karena tidak berada di dalam ruang lingkup tugasnya. 

Seluruh tindakan penyidik perikanan yang dilakukan dalam menyidik perkara perikanan dibuat berita acaranya dengan disusun sebagaimana Pasal 75 Ayat (1) KUHAP kemudian dibendel menjadi berkas perkara.

Penuntutan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 75 Ayat (1) UU Perikanan, penuntutan terhadap tindak pidana dibidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI.  Ada sejumlah penuntut umum diangkat oleh Jaksa Agung yang khusus bertugas menangani perkara-perkara perikanan sesuai dengan bidang pekerjaannya.

Penelitian berkas perkara

Penuntut umum diberi waktu maksimal 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas penyidikan perkara perikanan, wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik (Pasal 76 Ayat (1) UU Perikanan).

Berkas tidak lengkap

Penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai dengan petunjuk tentang hal-hal yang harus segera dilengkapi. Untuk dapat melengkapinya penyidik diberi waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dikembalikan. Penyidik harus segera menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum (Pasal 76 Ayat (3) UU Perikanan).

Penyidikan dianggap selesai

Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima) hari penuntut umum tidak  mengembalikan  hasil penyidikan atau apabila sebelum  batas waktu tersebut berakhir sudah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Jika penuntut umum menyatakan  berkas penyidikan  tersebut sudah lengkap, dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak  tanggal penerimaan  berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum  segera membuat surat dakwaan dan harus melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan perikanan.

Penuntut umum diberi wewenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka selama 10 (sepuluh) hari untuk kepentingan penuntutan. Apabila masih diperlukan penahanan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 10 (sepuluh) hari. Dengan demikian total seluruh penahanan pada proses penuntutan selama 20 hari.

Pengadilan Tingkat Pertama

Pengadilan perikanan sebagai pengadilan khusus berdasarkan ketentuan  Pasal 71 Ayat (2) UU Perikanan dibentuk dilingkungan peradilan umum, tepatnya berada di dalam pengadilan negeri. Pada awalnya dibentuk 5 pengadilan perikanan yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual.

Kemudian menjelang akhir tahun 2009 dibentuk dua pengadilan perikanan lagi, yaitu di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai.

Pada akhir tahun 2014 dibentuk lagi pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, pada Pengadilan Negeri Sorong dan pada Pengadilan Negeri Meurauke.

Wilayah Hukum Pengadilan Perikanan

Kompetensi relatif pengadilan perikanan mengikuti wilayah hukum pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 71 Ayat (4) UU Perikanan menyebutkan, wilayah hukum pengadilan perikanan sesuai dengan wilayah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

Sejalan dengan itu dengan dibentuknya pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Medan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung, Tual, Tanjung Pinang dan Ranai yang wilayah hukumnya mengikuti masing-masing pengadilan negeri yang bersangkutan.

Selama pengadilan perikanan belum dibentuk maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2007 menyebutkan bahwa tindak pidana yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan berlaku ketentuan Pasal 106 dan Pasal 107 UU Perikanan. Tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI berdasarkan PERMA tersebut pengadilan yang berwenang mengadili adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi pelabuhan tempat penahanan terhadap kapal maupun orang yang diduga melakukan tindak  pidana di wilayah ZEEI tersebut.

Persidangan in absensia

Ketentuan Pasal 79 UU Perikanan menetapkan bahwa pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa. Pengadilan pidana secara in absensia adalah mengadili seorang terdakwa tanpa dihadiri terdakwa sendiri sejak mulai pemeriksaan sampai dijatuhkannya hukuman oleh pengadilan.

Untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan pengadilan perikanan, hakim diberi wewenang untuk menahan terdakwa selama 20 hari, penahanan ini dilakukan sejak pengadilan perikanan menerima pelimpahan berkas perkara terdakwa dari penuntut umum.

Apabila pemeriksaan belum selesai penahanan tersebut dapat diperpanjang selama 10 hari oleh ketua pengadilan negeri. Jumlah seluruhnya penahanan hakim adalah selama 30 hari.

Jika dalam waktu penahanan tersebut berakhir sedangkan pemeriksaan terdakwa belum selesai atau perkaranya belum diputus maka terdakwa harus dikeluarkan  dari tahanan demi hukum.

Alat bukti yang diatur UU ITE

Alat-alat bukti yang dimaksudkan terdapat dalam Pasal 5 UU ITE. Pada prinsipnya alat bukti yang diatur dalam UU ITE hanya ada 3 macam, yaitu informasi elektronik, dokumen elektronik serta hasil cetaknya. Ketiga alat bukti tersebut kedudukannya sebagai alat bukti sah dan berdiri sendiri di dalam hukum acara pidana.

Putusan

Menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Pengadilan Tingkat Banding

Permintaan banding dapat diajukan dalam tenggang waktu tujuh hari (Pasal 233 Ayat (2) KUHAP), apabila permintaan itu diajukan telah lewat tenggang waktunya, maka terdakwa dianggap menerima putusan (Pasal 234 Ayat (1) KUHAP) dan putusan pengadilan tingkat pertama menjadi berkekuatan hukum tetap.

Memori banding 

1. Dalam permintaan banding pemohon banding, terdakwa/penasihat hukum maupun penuntut umum dapat mengajukan memori banding..

2. Semua keberatan-keberatan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dituangkan dalam memori banding.

3. Pengajuan memori banding bukan merupakan kewajiban bagi pemohon banding. Bagi pemohon banding yang tidak menyampaikan memori banding, pengadilan tingkat banding tetap akan memeriksa pokok perkaranya. 

Kewenangan penahanan dalam perkara perikanan

Kewenangan penahanan terhadap terdakwa perkara perikanan untuk pengadilan tinggi sama dengan pengadilan tingkat pertama yaitu 20 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi selama 10 hari (Pasal 81 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Perikanan, dengan total penahanan selama 30 hari. Penahanan dilakukan sejak terdakwa atau penuntut umum menyatakan banding, karena kewenangan mengadili beralih sejak saat pernyataan banding.

Batas waktu penyelesaian perkara perikanan

Untuk penyelesaian perkara perikanan di pengadilan tinggi ketentuannya sama dengan penyelesaian perkara di pengadilan tingkat pertama, yaitu selama 30 hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima di pengadilan tinggi (Pasal 81 Ayat (1) UU Perikanan.

Pengadilan Tingkat Kasasi

Putusan yang dapat dikasasi menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP adalah putusan yang tidak membebaskan terdakwa. Disini berarti putusan yang memidana dan putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, dapat dilakukan kasasi. Sedangkan putusan bebas tidak dapat dikasasi. 

Pengajuan kasasi dalam waktu 14 hari

1. Pengajuan kasasi dapat diajukan dalam waktu 14 hari setelah terdakwa menerima pemberitahuan putusan tingkat banding (Pasal 245 Ayat (1) KUHAP). 

2. Jika pengajuan kasasi lewat dari 14 hari atau terlambat, maka berakibat hak yang bersangkutan menjadi gugur (Pasal 246 Ayat (2) KUHAP) dan putusan tersebut menjadi berkekuatan hukum tetap.

Kewajiban menyampaikan memori kasasi

Dalam Pasal 248 Ayat (1) KUHAP pemohon kasasi diwajibkan untuk mengajukan memori kasasi dalam waktu 14 hari setelah mengajukan permohonan kasasi.

Memori kasasi berisi tentang alasan-alasan mengenai permohonan kasasinya. Jelasnya dalam memori itu membahas tentang hal-hal yang dipandang tidak atau kurang tepat penerapan hukum yang dilakukan pengadilan di dalam putusannya.

Penahanan dalam perkara perikanan

Untuk perkara perikanan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mempunyai kewenangan menahan terdakwa yang sama dengan pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama, yaitu selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung selama 10 hari.

Batas waktu penyelesaian perkara perikanan

Mahkamah Agung sebagai pengadilan paling tinggi di Indonesia, waktu penyelesaian perkara tetap tidak berbeda dengan pengadilan-pengadilan yang ada dibawahnya. Batas waktunya tetap selama 30 hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

Peninjauan Kembali (PK)

Peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan negeri, putusan pengadilan tinggi, atau bahkan putusan Mahkamah Agung, sepanjang putusannya berkekuatan hukum tetap. Sedangkan yang mempunyai hak untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Permohonan itu hanya dapat diajukan satu kali saja (Pasal 268 Ayat (3) KUHAP).

Alasan-alasan Peninjauan Kembali (PK)

Berdasarkan Pasal 263 Ayat (2) KUHAP diajukan atas dasar alasan-alasan sebagai berikut:

1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung.

2. Apabila dalam berbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lainnya.

3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim suatu kekeliruan yang nyata.

Diperiksa dulu di PN

Sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri yang bersangkutan menyidangkan perkara permohonan peninjauan kembali dengan hakim yang tidak pernah memeriksa perkara semula, untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut telah memenuhi alasan sebagaimana yang ditetapkan Pasal 263 Ayat (2) KUHAP.

PK perkara perikanan berlaku KUHAP

Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa, yang dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang tidak menghalangi terpidana  dilakukan eksekusi, Karena tidak diatur secara khusus, persidangan PK berlaku aturan KUHAP.

Putusan PK menguntungkan terpidana 

1. Terhadap permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung dalam putusannya dapat bersikap menerima atau tidak menerima permohonan itu.

2.  Apabila alasan permohonan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan, maka Mahkamah Agung dalam putusannya akan menolak permohonan tersebut, dengan menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali itu tetap berlaku.

3. Sebaliknya jika alasan permohonan peninjauan kembali dapat dibenarkan, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali dan menjatuhkan putusan yang berdasarkan Pasal 266 Ayat (a) huruf b KUHAP yang berupa:

a. Putusan bebas.

b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

c. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum.

d. Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.


NB : Materi ini berasal dari resume penulis dalam Mata Kuliah Hukum Kejahatan Laut dan Peradilan Perikanan

Post a Comment