Definisi pertanggungjawaban pidana dikemukan oleh Siomons yaitu “sebagai suatu keadaan psikis, sehingga penerapan suatu ketentuan pidana dari sudut pandang umum dan pribadi dianggap patut. Dasar adanya tanggungjawab dalam hukum pidana adalah keadaan psikis tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”. (Hiariej, 156).
Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno, dalam pertanggungjawaban pidana terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simons yang merumuskan strafbaar feit sebagai “suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Menurut aliran monisme unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi unsur-unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur-unsur pembuat yang lazim disebut unsur subjektif. (Effendi, 2014:114).
Orang yang pertama menganut pandangan dualistis adalah Herman Kontotowicz, pada tahun 1933 yang menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa, yang oleh beliau dinamakan objektive schuld, oleh karena kesalahan itu dipandang sebagai sifat daripada kelakuan (mermal der handlung). Untuk adanya strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat. (Effendi, 2014:115).
Moeljatno juga termasuk ke dalam aliran dualistis dimana beliau memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab, asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea). (Moeljatno, 1983:153).
Adapun unsur-unsur kesalahan menurut Moeljatno adalah:
- melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
- di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab.
- mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
- tidak adanya alasan pemaaf.
Baca Juga :Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa Latin yang berwal dari kata corporare, artinya memberikan badan atau membadankan. Hiariej mengutip Satjipto Rahardjo, Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa korporasi sebagai suatu badan hasil cipta hukum, yang terdiri dari corpus (yang mengarah pada fisiknya) dan animus (yang diberikan hukum membuat badan itu memiliki kepribadian). (Hiariej, 194-195).
Berdasarkan sejarah, zaman Romawi (abad 12-14) dan abad pertengahan sebelum revolusi Perancis di Eropa, pertanggungjawaban pidana berupa denda dapat dikenakan kepada kelompok seperti desa, kota, asosiasi agama, keluarga dan pemerintah daerah atas perbuatan anggotanya yang diputuskan secara kolektif. Pasca revolusi Perancis gagasan pertanggungjawaban pidana korporasi mengalami penolakan dengan berpegang pada asas universitas delinquere non potest (korporasi tak dapat dipidana) dan asas societes delinquere non potest (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), yang sangat dipengaruhi oleh Malblanc dan Friedrich Carl von Savigny. (Hiariej, 197).
Dalam perkembangan pemahaman mengenai kejahatan korporasi, pertanggungjawaban muncul sebagai respon terhadap pelanggaran korporasi termasuk kelalaian yang menyebabkan terjadinya pelanggaran regulasi. Sejak itu, pelanggaran tidak harus didasari oleh mens rea, ataupun tindakan langsung dan hukuman pun tersedia dalam bentuk sanksi. Pertanggungjawaban korporasi diterapkan dengan mempertimbangkan doktrin-doktrin yang telah diterima. Pada akhirnya, pembuat undang-undang sampai pada kesimpulan bahwa selain manusia sebagai “orang”, korporasi juga layak untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas segala tindakannya apabila tindakannya tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku. (Hiariej, 199).
Pada tataran doktrin, ada beberapa teori dan banyak diadopsi sebagai teori yang digunakan untuk menilai pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu: Pertama, doktrin pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang (strict liability), yaitu pertanggungjawaban korporasi semata-mata berdasarkan bunyi undang-undang dengan tanpa memandang siapa yang melakukan kesalahan dalam strict liability unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan. (Hiariej, 206).
Kedua, doktrin pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability), yang lebih menekankan pada pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi sebagai agen perbuatan dari korporasi tersebut. Doktrin ini bertolak dari doktrin respondent superior, berdasarkan pada employment principle dan the delegation principle. Doktrin ini adalah pengecualian pertanggungjawaban individu yang dianut dalam hukum pidana berdasarkan adagium nemo punitur pro alieno delicto (tidak ada seorang pun yang dihukum karena perbuatan orang lain). Ketiga, teori identifikasi (direct corporate criminal liability) atau doktrin pertanggungjawaban pidana secara langsung. Menurut doktrin ini perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Tegasnya, perbuatan/kesalahan senior officer diidentifikasi sebagai perbuatan/kesalahan korporasi. (Hiariej, 207).
Keempat, teori agregasi yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada badan hukum jika perbuatan tersebut dilakukan oleh sejumlah orang yang memenuhi unsur delik yang mana antara satu dengan yang lain saling terkait dan bukan berdiri sendiri-sendiri. Kelima, ajaran corporate culture model atau model budaya kerja. Ajaran ini memfokuskan pada kebijakan badan hukum yang tersurat dan tersirat mempengaruhi cara kerja badan hukum tersebut. Badan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila tindakan seseorang memiliki dasar yang rasional bahwa badan hukum tersebut memberikan wewenang atau mengizinkan perbuatan tersebut dilakukan. (Hiariej, 207).
Baca Juga : Hukuman Pencemaran Nama Baik
Referensi:
- Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
- Erdianto Effendi, 2014, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung.
- Moeljatno, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Post a Comment