Kepailitan Perusahaan
Pengertian Kepailitan
Perusahaan sebagai pelaku ekonomi dalam menjalankan kegiatannya dengan pihak ketiga , melahirkan sejumlah hak dan kewajiban yaitu berupa piutang dan utang.
Selama utang-utang mampu dibayar oleh perusahaan, kegiatannya dapat dilanjutkan terus, dan sebaliknya jika perusahaan tidak mampu membayar utang-utangnya, timbul persoalan akan keberlangsungan perusahaan tersebut.
Ada kalanya perusahaan harus menghentikan kegiatan usahanya karena jatuh pailit atau bangkrut.
Sebuah perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan.
Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi.
Satu-satunya kegiatan perusahaan adalah melakukan likuidasi atau pemberesan yaitu menagih piutan, menghitung seluruh aset perusahaan, kemudian menjualnya untuk seterusnya dijadikan pembayaran utang-utang perusahaan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa persoalan kepailitan adalah persoalan ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya.
Dalam artian hukum, yang dimaksud dengan kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dimana si berutang mempunyai sedikitnya dua utang dan sudah jatuh tempo, dan tidak dapat membayar lunas salah satu dari utang itu.
Inti dari persoalan itu adalah sitaan terhdap harta debitor untuk selanjutnya diurus dan dibereskan, dalam artian harta kekayaan itu dijual dan hasil penjualannya dibayarkan kepada para kreditor.
Menurut undang-undang, jika debitor mempunyai dua utang atau lebih yang sudah jatuh tempo dan tidak dapat membayar utang-utangnya, maka atas permohonan sendiri atau pihak lain yang berkepentingan, pengadilan dapat menjatuhkan kepailitan atas debitor itu.
Ketentuan tentang kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata yang pada pokoknya mengatakan bahwa semua harta benda seseorang menjadi jaminan secara bersama-sama atas perikatannya, dan jika debitor tidak dapat membayar utang-utangnya, harta benda itu dijual dan hasil penjualannya dibagi-bagikan kepada para kreditornya menurut perimbangannya, kecuali jika ada alasan untuk dilunaskan secara didahulukan.
Inti dari persoalan kepailitan adalah sitaan umum (menyeluruh) atas harta kekayaan debitor. Sitaan umum ini dimaksudkan untuk mencegah sitaan dan eksekusi yang dilakukan oleh masing-masing kreditor atau untuk menghentikan sitaan dan eksekusi yang dimaksud apabila sudah dimulai.
Sebab jika terjadi sitaan atau eksekusi secara sendiri-sendiri oleh kreditor maka dapat menimbulkan kerugian atau ketidakadilan pada kreditor lain dan ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata tentang perimbangan itu.
Jadi persoalan kepailitan adalah lanjutan dari ketentuan jaminan umum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata tersebut.
Peraturan kepailitan dibuat berlaku umum yaitu bagi setiap orang (subjek hukum) yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya.
Dengan demikian selain berlaku bagi perseorangan juga berlaku bagi badan atau perkumpulan baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum; juga berlaku bagi perusahaan maupun non-perusahaan.
Pengaturan Kepaillitan
Peraturan tentang kepailitan di indonesia telah mengalami perkembangan, diawali dengan peraturan kepailitan dalam Buku III KUH Dagang (Wetboek van Koophandel) yang mengatur soal ketidakmampuan pedagang, yang ditetapkan sejak tahun 1847 pada Staatblad No. 23.
Peraturan kepailitan pada Buku III KUH Dagang ini kemudian diganti melalui Undang-Undang tentang Kepailitan (Failissements-verordening) Staatblad 1905 No. 217 jo 1906 No. 348, yaitu sebuah peraturan kepailitan yang tersendiri di luar KUH Dagang.
Krisis moneter yang terjadi tahun 1997 yang meluas menjadi krisis ekonomi, menjadi faktor utama yang mendorong perlunya meninjau kembali Peraturan Kepailitan yang telah ada itu.
Krisis ekonomi itu mengakibatkan banyak perusahaan yang tidak mampu melanjutkan kegiatan usahanya, termasuk menyelesaikan utang-utangnya.
Timbul keinginan yang kuat untuk membenahi Peraturan Kepailitan 1905 jo. 1906 itu dengan mengubah dan menambah peraturan tersebut.
Akhirnya melalui PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepailitan ditetapkanlah peraturan kepailitan yang baru. Perpu No. 1 Tahun 1998 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang- Undang No. 4 Tahun 1998.
Karena UU No. 4 Tahun 1998 ini dipandang mengandung beberapa kelemahan, sebagaimana dicatat oleh Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja bahwa UU Kepailitan 1988 memunculkan banyak kontroversi.
Penggantian kemudian dilakukan melalui UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (disingkat UU KPKPU) yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004.
UU ini mengatur 3 (tiga) hal pokok selain ketentuan umum, yaitu: Kepailitan (Bab II Pasal 2-221), Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bab III Pasal 222-294), dan Permohonan Peninjauan Kembali (Bab IV Pasal 295-303).
Ini mencabut dan menyatakan seluruh peraturan kepailitan yang pernah ada menjadi tidak berlaku lagi.
Mengikuti jalan pikiran yang termuat di dalam Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 itu, dapat dikatakan bahwa krisis ekonomi dapat mengakibatkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional, berupa:
1. perusahaan terganggu dalam mengembangkan usahanya;
2. tidak mudah bagi perusahaan untuk mempertahankan kegiatan usahanya;
3. pada gilirannya dapat mempengaruhikemampuan perusahaan membayar utang-utangnya; dan
4. akibatnya timbul masalah lain seperti hilangnya lapangan kerja dan masalah sosial lainnya.
Oleh karena itu perlu ada aturan mengenai penyelesaian persoalan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Sukardono mengemukakan beberapa alasan perlunya kepailitan diatur secara hukum (melalui perundang-undangan), antara lain:
1. agar kreditor mendapatkan jaminan yang cukup bahwa debitor akan mampu memenuhi kewajibannya pada waktunya dengan memuaskan;
2. mewujudkan asas keadilan dengan mencegah perbuatan sewenang-wenang yang mungkin dilakukan oleh kreditor lain;
3. mencegah perbuatan debitor yang menguntungkan salah satu kreditor;
4. untuk memperoleh kepastian hukum melalui putusan hakim;
5. menghindari timbulnya gugatan sendiri-sendiri oleh para kreditor;
6. menghindari kerugian pada kreditor lain yang tidak segera mengetahui ketidakmampuan membayar dari debitor.
7. menghindari perebutan-perebutan yang mungkin dilakukan kreditor-kreditor.
8. menghindari berbagai kesulitan yang timbul jika mempergunakan ketentuan-ketentuan hukum lain seperti KUH Perdata dan HIR/RBg.
Singkatnya menurut Sukardono, sebagai usaha penertiban perlulah ketentuan di mana hakim segera dapat merealisasikan prinsip yang dimuat di dalam Pasal 1132 KUH Perdata melalui penjatuhan kepailitan pada debitor dengan putusan hakim.
Menurut pembuat UU No. 37 Tahun 2004, sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan umumnya, ada 3 (tiga) faktor yang mendorong perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan pembayaran utang, yaitu:
1. untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya;
2. untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan debitor atau para kreditor lainnya;
3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.
Referensi:
Janus Sidabalok, 2012, Hukum Perusahaan, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung.
Post a Comment