Pra-Penututan
Di dalam KUHAP meyebut tentang pra-penuntutan, tetapi tidak memberikan defenisi apa yang dimaksud dengan pra-penuntutan.
Istilah pra-penuntutan disebutkan dalam Pasal 14 huruf (b) KUHAP tentang wewenang penuntut umum, yang berbunyi “mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memerhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.”
Pengertian pra-penuntutan juga dijelaskan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang berbunyi “...Pra-penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik, serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.”
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, menunjuk Pasal 14 KUHAP dengan kaitannya dengan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 138 KUHAP sebagai pra-penuntutan.
Pasal 110 KUHAP ini berhubungan dengan Pasal 138 KUHAP, perbedaannya adalah Pasal 110 KUHAP terletak di bagian wewenang penyidik, sementara itu Pasal 138 KUHAP terletak di bagian wewenang penuntut umum. Berikut ini kutipan kedua pasal tersebut, sebagai berikut:
Pasal 110 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal 138 KUHAP
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Penuntutan
Pengertian penuntutan menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP bahwa, “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.”
Menurut Wirjono Prdjodikoro pengertian penuntutan yaitu “Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.”
Jadi, pengertian penuntutan disini sangatlah luas, dimana dimulai dari penuntut umum membuat surat dakwaan hingga proses penuntutan di persidangan atau requisitoir.
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 KUHAP), penuntut umum segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
Namun, dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
Jika kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Requisitoir
Pada sidang pertama penuntut umum akan membacakan surat dakwaan, kemudian sidang selanjutnya dilanjutkan dengan eksepsi dari terdakwa, lalu sidang ketiga masuk pada tahap pembuktian.
Setelah proses pembuktian atau sidang pembuktian selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya dalam hukum acara pidana adalah penuntutan (requisitoir) yang dilakukan oleh penuntut umum.
Pembacaan requisitoir atau penuntutan oleh penuntut umum kepada terdakwa, yaitu setelah selesai proses pemeriksaan bukti-bukti atau sidang pembuktian (sidang ketiga), baik oleh terdakwa atau penasihat hukumnya maupun penuntut umum, dan setalah itu, para pihak yaitu terdakwa maupun penuntut umum tidak lagi mengajukan bukti-bukti tambahan.
Akan tetapi, selama belum diputus oleh hakim, maka terdakwa ataupun penuntut umum masih dimungkinkan untuk mengajukan atau menambah bukti-bukti yang telah ada.
Menurut Darwan Prints, requisitoir adalah surat yang dibuat oleh penuntut umum setelah pemeriksaan selesai dan kemudian dibacakan dan diserahkan kepada hakim dan terdakwa atau penasihat hukum.
Sementara itu, menurut J.C.T. Simorangkir, requisitoir ini biasa juga disebut juga denga “surat tuntutan hukum.”
Menurut penulis, requisitor disini dapat diartikan penuntutan dalam arti sempit yaitu pembacaan surat tuntutan oleh penuntut umum.
Setelah memahami arti dari requisitoir, maka selanjutnya adalah isi dari requisitor atau surat tuntutan hukum yang pada umumnya berisi hal-hal sebagai berikut:
a. nama lengkap;
b. tempat lahir, umur/tanggal lahir;
c. jenis kelamin;
d. kebangsaan;
e. tempat tinggal;
f. agama;
g. pekerjaan, dan sebagainya.
2. Isi dakwan;
3. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan:
a. keterangan saksi;
b. keterangan terdakwa;
c. keterangan ahli;
d. barang bukti.
4. Visum et repertum dan bukti-bukti surat lainnya.
5. Fakta-fakta yuridis dan lain sebagainya.
6. Pembahasan yuridis, yaitu penuntut umum membukti satu persatu tentang pasal-pasal yang didakwakan, yaitu apakah terbukti atau tidak;
7. Pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa;
8. Tuntutan hukum (menuntut), yaitu penuntut umum meminta kepada majelis hakim agar terdakwa: dijatuhi berapa lamanya hukuman atau pembebasan atau pelepasan terdakwa dari segala dakwaan atau tuntutan hukum dan tuntutan lainnya atau pidana tambahan;
9. Diberi nomor (register) dan tanggal, serta ditandatangani oleh penuntut umum.
Kesimpulan
Penuntutan merupakan suatu proses yang panjang, dimana dilalui oleh tahap pra-penuntutan terlebih dahulu, kemudian membuat surat dakwaan, lalu melakukan penuntutan (membacakan surat tuntutan hukum). Semua itu, masuk dalam proses penuntutan sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa proses penuntutan ada tiga tahapan yaitu, pra-penuntutan, pembacaan surat dakwaan, dan pembacaan surat tuntutan hukum.
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
- Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2015, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta.
Post a Comment